Ahad, 31 Ogos 2008

IBN ARABI TOKOH KONTROVERSIAL

Menarik sekali membahas tokoh yang satu ini, yang sejak dahulu selalu menuai kontroversi. Tulisan ini hanya merangkum dari berbagai nara sumber, hanya untuk mengetahui siapakah sebenarnya tokoh yang satu ini, yang sering mendapat tuduhan murtad, dan penganut agama lainnya.
Ibn Arabi nama lengkapnya Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Arabi Al Thai Al Hatimi adalah seorang tokoh sufi filsuf kontroversial dari Andalusia, lahir 560 H/1165 M - 638H/1240M. Karya-karyanya dikenal memadukan antara syariat, rasio dan intuisi (dzauq). Diantaranya Futuhat Al Makiyyah (Penyingkapan Mekah), buku yang berisi 560 bab, berisi ajaran dari banyak topik, Fushus Al Hikam (Permata Kebijaksanaan) berisi tentang sabda kenabian keragaman kesempurnaan yang mewujud pada masing-masing 27 nabi besar, Al Tadbirat al Illahiyah Fi Ishlah al Mamlakah al Insaniyah (Menata diri Dengan Tadbir Ilahi), Kunh Mala Budda Al Murid (Selamat Sampai Tujuan), Risalah al Anwar fi ma Yumnah Shahib Al Kalwah Min Al Asrar (Risalah Kemesraan, berisi panduan menjalani khalwat), Ruh al Quds (Jiwa Yang Suci), Al Durrat al Fakhrah (Butiran Permata Keagungan).
Ibn Arabi dipandang sebagai tokoh terbesar muslim dalam menyusun doktrin-doktrin metafisis, sehingga disebut sebagai Syeikhul Akbar yang artinya Syekh Yang Agung. Ada juga yang menyebutnya sebagai Belerang Merah (al Kabrit Al Ahmar) sebuah term kimiawi yang mengandung pengertian bahwa Ibn Arabi mampu mencipta suatu pengetahuan terlepas dari ketidak tahuannya sebagai belerang yang mampu membentuk kuning emas dari sebuah timah.
Tuduhan Murtad
Banyak kaum salafi yang menuduh bahwa dirinya adalah murtad dan pengikut Nasrani, apakah benar demikian? Lalu, kenapa sampai bisa dtuduh sedemikian rupa, adakah alasannya?
Tulisan Ibn Arabi banyak yang mengandung pengertian ganda, dan berapa corak kemusyrikan telah ditemukan didalam pemikirannya yang melahirkan bentuk keyakinan yang berlebihan. Karenanya, ia sering dituduh sebagai orang pantheisme. Hanya saja disini ada keanehan, andai kata saja ada kesalahan dalam pemikirannya Ibn Arabi, tetapi para pengikutnya mempertahankan dan tetap mempraktekannya, bahkan menolak untuk kompromi.
Tuduhan bahwa dia adalah penganut Nasrani karena konsep kesatuan hakikat agama. Menurutnya hakikat agama adalah sama atau satu, hanya saja bentuk luarannya yang berbeda-beda. Ia menjelaskan panjang lebar tentang hal itu, yang mana pada posisi tersebut ia memiliki sifat-sifat sebagaimana yang dimiliki Yesus.
Didalam syairnya pada kitab Tarjuman Al Asywaq, Ibn Arabi mengungkapkan sebagai berikut :
Hatiku terbuka untuk segala macam bentuk;
Ia bagaikan padang rumput untuk kawanan rusa, dan bagaikan biara bagi pendeta-pendeta Kristen, Bagaikan candi untuk sebuah berhala, dan sebagai Ka’bah untuk menjalankan perjalanan haji, Bagaikan lembaran Taurat dan sekaligus kitab suci Al Quran.

Milikku adalah agama cinta, kemanapun kabilah Allah bergerak, agama cinta akan tetap menjadi agama dan keyakinanku. Rasanya, syair di atas lah yang dijadikan rekomendasi oleh kalangan para Salafi, untuk menuduh bahwa Ibn Arabi adalah Nasrani. Lalu, bagaimana dan alasan apa sampai dituduh bahwa Ibn Arabi itu SESAT dan Menyesatkan, terutama dengan konsep Kesatuan wujudnya (wahdatul wujud)?
Ibn Arabi merumuskan tentang konsep kesatuan wujud atau non dualitas, yang merupakan konsep Islam tentang Advaita Vedanta dan semakna dengang konsep Tao.
Konsep itu menyatakan bahwa tidak ada satupun eksistensi yang terwujud melainkan hanya Allah.

Ajaran Ibn Arabi tentang wahdatul wujud ini meluas, dan menjadikan ajaran wahdatul wujud ini sebagai ajaran metafisika sufisme, pada masanya ajaran ini menyebar di merata dunia.
Setelah Ibn Arabi memunculkan konsep Wahdatul Wujud, kemudian diikuti oleh beberapa sufi lainnya yang terlibat dalam meng-estafetkan ajaran ini, sehingga seolah-olah Ibn Arabi ini menjadikan penghubung antara tradisi Sufi Spanyol-Maroko dengan tradisi sufi timur Mesir-Siria melalui muridnya Shadr Al Din Al Qunawi (1210). Di Persia atau Iran ajaran Ibn Arabi ditebarkan melalui Qutb Al Din Asy-Syaerazi, sehingga mempengaruhi tasawuf Persia secara umum. Ajaran sufi ini dilanjutkan oleh Abdul Karim Al Jilli, seorang pemimpin tharekat Al Syadzili, dan oleh Jalaluddin Rumi. Nah, pada jaman kemajuan pemikiran intelektualitas Islam ini, ajaran ini merebak sampai Aceh Indonesia, nama Ibn Arabi dengan muridnya Ibn Athaillah cukup dikenali dengan baik.
Menurut saya, ajaran Ibn Arabi ini ke Indonesia merebak melalui Tharekat Al Sadziliyah, yang mana Tharekat ini didirikan oleh Imam Syadzili, dan dilanjutkan oleh Ibn Athaillah(W.1309), putranya. Ibn Athaillah ini semula seorang fuqoha pengikut mazhab Malikiyah, dia seorang pengajar di Al Azhar Kairo, dan perguruan Al Manshuriyah tetapi waaupu dia putra seorang sufi tapi justru fikirannya berlawanan, bahkan memerangi tasawuf, terutama ditujukan kepada sufi Abu Abbas Al Mursi (w. 1288), tetapi pada tahun 1276 M, Ibn Athaillah mendatangi Al Mursi, dan menyatakan dirinya menjadi murid tharekat Al Shadziliyyah, bahkan Ibn Athaillah menulis sebuah karya besar dalam bidang Tashawuf, yakni Kitab Al Hikam yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf.
Jadi benar, semula Ibn Athaillah melawan ajaran tasawuf tetapi selanjutnya dia justru berbalik, bahkan menjadi pecinta tasawuf dan mengembangkannya melalui berbagai karya tulisnya.

Kesimpulan :

Tuduhan para fuqoha (ahli fiqih), kaum salafi yang memegang teguh ajaran ajaran nabi hanya Al Quran dan al Hadits, dan kalangan Wahabi yang tidak mengakui keabsahan otoritas pandangan dan praktek setelah tabiin dan menganggapnya inovasi (bid’ah) yang tidak mendasar secara teoretis, walaupun dalam praktis tidak demikian, yang menjelaskan bahwa ajaran Ibn Arabi adalah sesat dan menyesatkan, tetap tidak terpecahkan, dalam arti kata masing masing memiliki ajarannya. Kalau boleh dimisalkan, itu seperti minyak dan air dalam satu wadah, walaupun tidak akan bersatu tetapi sebenarnya satu dan saling melengkapi, bisa jadi tasawuf dengan keaneka ragamananya adalah kekayaan Islam di ranah spiritual.
Adapun tentang wahdatul wujud, adalah merupakan ekpressi sufistik yang bisa dijangkau atau dipahami secara transendental yang umumnya tidak sembarangan dipaparkan di kalangan awam, biasanya pengajaran ini melalui suatu tharekat yang mengajarkan tahap demi tahap (maqamat) sampai memahami dan merasakan (dzauq). Untuk memahami ilmu hakikat,
biasanya di awali dari Syariat, Tharikat, Hakikat sampai memahami akan makrifat (gnostik).
Tataran wahdatul wujud ini sudah masuk ke pemahaman makrifat, yang mana sudah tidak lagi menggunakan nalar atau akal fikiran, tetapi melalui peningkatan kesadaran. Kalau di ibaratkan, nalar adalah bumi, sementara makrifat adalah langit, tentunya membahas suatu langit kita harus berimijinasi dan berempathi tentang langit terlebih dulu, tidak semerta-merta menolak karena langit bukanlah bumi, atau mudah memurtadkan orang karena itu adalah kepicikan diri yang tak mampu mencerap, karena hakikat kebenaran adalah milik Yang Haq, dan yang memiliki hak prerogatif itu adalah Sang Haq itu sendiri.

Tetapi memahami Wahdatul Wujud ini memang sulit karena akan menjerumuskan di kalangan awam, banyak martir yang digantung oleh karenanya, tengoklah Al Hallaj di Baghdad atau Syekh Siti Jenar dengan konsep Manunggaling Kawula Gustinya di Nusantara ini.

Tarekat Qodiriyah

Sekilas Tarekat Qodiriyah
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira' di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan.
Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, 'Urabiyyah, Yafi'iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla'iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka'iyah, Bu' Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut "Syurafa Jilala".
Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir "Laa ilaha Illa Allah" dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat "Laa Ilaha Illa Allah" kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak.
Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu'tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya' sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu'ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A'uf dan sebagainya.
Bai'at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan "infahna binafhihi minka" dan dilanjutkan dengan ayat mubaya'ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti "jalan" sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16," Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah".
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat "rahasia" yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai'at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya.

IBN ‘ARABI: KEHIDUPAN, KARYA, DAN PENGARUHNYA

DI KALANGAN para sufi ada tradisi membaca manaqib. Tradisi ini sebenarnya sangat berpengaruh dalam perjalanan dan perkembangan spiritual para murid dan salik. Manaqib adalah semacam biografi yang menceritakan tentang jalan hidup seorang guru. Tetapi ia bukan sekadar biografi yang hanya mencatat tentang tempat lahir, tanggal lahir, dan hal-hal yang berelasi dengan guru secara historis. Lebih dari itu, sesungguhnya manaqib adalah catatan kehidupan spiritual seorang guru, yang bisa mempengaruhi murid dalam menghidupkan orientasi spiritual di dalam diri mereka dan meningkatkan aspirasi mereka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan membaca manaqib, misalnya, adalah memberi kesadaran kepada para murid bahwa bertemu dengan Allah (liqa’ Allah) adalah satu kenyataan dan semua manusia bisa bertemu dengan Yang Mahatunggal.

Bagaimanapun, ketika penulis membicarakan biografi Ibn ’Arabi di sini, tentu sekali tujuannya bukanlah sekadar untuk menambah informasi tentang beliau. Akan tetapi, biografinya harus mewujudkan satu relasi antara manusia dengan beliau. Biografinya harus menjadi sumber inspirasi kehidupan spiritual seluruh manusia. Apabila manusia ingin mengenal Ibn ‘Arabi hanya melalui aspek biografisnya, penulis merasa kita tidak akan memahami pribadi yang misterius ini sebagaimana yang seharusnya. Lebih jauh, kita juga tidak akan mendapat pencerahan spiritual. Ibn ‘Arabi harus dikenali, terutama, melalui biografi spiritualnya.

2.1. Latar Kehidupan

Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai,1 sufi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki "Syaikh al-Akbar" (Sang Mahaguru) dan "Muhyiddin" ("Sang Penghidup Agama"). Kendati tidak mendirikan tarekat populer—atau agama massa menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi intelektual maupun filosofis (Chittick, dalam Nasr (ed.), 2003: 64)

Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla.2 Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah satu adik istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi (Addas, 2004: 43-4)

Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590, Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi (606-673/1210-1274).

Dalam perjalanan menyertai kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn ‘Arabi bermukim sementara waktu di Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn al-Jami’, seseorang yang memperoleh kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr. Selama beberapa tahun Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim ke Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I (607-616/1210-19) dari Konya dalam misi yuridis kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir (582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.

Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya yang ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan, terutama, hadis (Chittick dalam Nasr, 66)

Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.

2.1.1. Kehidupan Ibn ‘Arabi: Spiritualitas dalam Totalitas

Hal yang perlu segera disadari bahwa dalam membincangkan biografi seorang sufi, yang paling utama dan semestinya ditekankan adalah biografi spiritualnya bukan sisi historisnya. Ini penting mengingat karena dari biografi spiritual itulah manusia bisa mendapatkan pencerahan spiritual. Dari sini, ia bisa membangun relasi antara dirinya dengan Tuhan. Dalam hal ini, Seyyed Hossein Nasr pernah menulis:

Like other great saints and sages, his greatest "masterpiece" was his own life, a most unusual life in which prayer, invocation, contemplation, and visits to various Sufi saints were combined with the theophanic vision of the spiritual world in which the invisible hierarchy was revealed to him. In studying his life, therefore, we gain a glimpse of the spiritual character and stature of the sage whose intellectual activity is visible in his many metaphysical works."
Kata Hossein Nasr, "…His greatest ‘masterpiece’ was his own life", kehidupan Ibn ‘Arabi sendiri adalah sebuah adikarya (masterpiece)nya, suatu kehidupan yang penuh dengan ibadah, zikir, kontemplasi, dan ziarah serta pertemuan dengan para Sufi. Semuanya ini tergabung dengan musyahadah atau penyaksian tajalli-nya pada alam spiritual. Dalam penyaksian tersebut, seluruh hierarki alam gaib telah tersingkapkan kepadanya.

Nama Ibn ‘Arabi sudah menjadi hampir sinonim dengan doktrin wahdat al-wujud. Benar bahwa doktrin ini mempunyai peran sentral dalam metafisis Ibn ‘Arabi, tetapi agaknya pesan beliau bukan sekadar doktrin tersebut. Seluruh kehidupan Syaikh al-Akbar dan doktrin ajarannya ingin menyatakan bahwa esoterisme adalah Prinsip dan juga Jalan. Dengan kata lain, Prinsip Kebenaran (the Principle of the Truth) dan juga Jalan kepada Kebenaran (the Way to the Truth) adalah esoterisme. Satu-satunya tujuan Ibn ‘Arabi adalah untuk mengenal—dan malah untuk merealisasikan—Realitas.

Semasa remajanya, seperti remaja-remaja lain, ia juga punya waktu untuk bersenang-senang selain dari waktu belajarnya. Pada satu masa ketika ia lagi bersenang-senang di Sevilla, dia telah mendengar suara yang memanggilnya beliau, "Hai Muhamad, bukan untuk ini kamu diciptakan." Ia menjadi gelisah dan penasaran dengan pengalaman ini. Dalam kegelisahan itu, ia melarikan diri dan menyendiri untuk beberapa hari di sebuah tempat pekuburan. Di situlah Ibn ‘Arabi mengalami tiga musyahadah yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan spiritual masa depannya. Dia telah bertemu Nabi Isa, Musa, dan Muhammad—yang telah memberi instruksi spiritual untuknya.

Pertemuan spiritual ini bisa dikatakan adalah titik permulaan perjalanan spiritual Ibn ‘Arabi muda. Sejak itu, ia mendapat banyak pengalaman spiritual seperti ini. Malah sepanjang hidupnya penuh dengan pengalaman mukasyafah dan musyahadah. Kehidupan Ibn ‘Arabi adalah satu kehidupan spiritual dan biografinya identik dengan spiritual dan mistis. Bahkan pertemuannya dengan para guru sufi di dalam sepanjang pengembaraan, kesemuanya adalah pertemuan yang terpusat pada spiritualitas.

Pertemuan spiritualnya dengan tiga nabi besar yang mewakili tradisi Ibrahimiyah, mempunyai arti implisit yang sangat fundamental dalam doktrin ‘irfan Ibn ‘Arabi. Tradisi Ibrahimiyah terpusat pada doktrin tauhid. Tauhid dalam perspektif Ibn ‘Arabi tidak lain dan tidak bukan adalah wahdat al-wujud. Doktrin ini adalah prinsip esoterisme dan mengejawantahkan doktrin tersebut adalah jalan esoterisme.

Doktrin ini akan menjadi "akar segala sesuatu" ("the root of all things"). Dan, secara lebih spesifik lagi ia akan mejadi akar metafisikanya. Ketika al-wujud adalah "the one and only Real", yang lain semuanya akan menjadi relatif atau manifestasi bagi-Nya. Dan sebagai manifestasi, setiap detik seluruh ma siwa Allâh adalah "Dia dan tidak Dia". Ini adalah apa yang Schuon sering istilahkan sebagai paradoks spiritual ("the spiritual paradox").

Paradoks inilah yang telah diceritakan begitu indah sekali dalam pertemuan bersejarah antara Ibn ‘Arabi dengan hakim Sevilla, seorang faqih dan filosof yang terkenal yaitu Ibn Rusyd. Hampir semua yang menulis biografi Ibn ‘Arabi akan mengungkapkan pertemuan yang bersejarah ini.

Aku pernah menginap sehari di Kordoba, di rumah Abu al-Walid Ibn Rusyd. Dia telah menyatakan keinginannya untuk bertemu denganku, karena dia pernah dengar beberapa ilham yang aku dapatkan semasa berkhalwah. Dan dia merasa sangat tertarik berkenaan ilham itu. Akhirnya ayahku, salah seorang teman dekatnya, telah membawaku kepadanya dengan alasan ada urusan dagang, agar Ibn Rusyd mendapat kesempatan untuk berkenalan denganku.
Pada masa itu aku adalah seorang remaja tanpa jenggot dan cambang di wajahku. Ketika aku memasuki rumahnya, filosof itu pun menyambutku dengan penuh kemesraan dan keramahan, dan dia terus memelukku. Kemudian dia berkata kepadaku, "Iya." Dan kelihatan sekali kegembiraan pada wajahnya karena aku paham apa yang dia maksudkan. Aku pula, yang tahu persis kenapa dia begitu gembira, menjawab "Tidak." Ketika itu, Ibn Rusyd tiba-tiba mundur. Warna wajahnya berubah dan dia kelihatannya meragukan tentang apa yang telah aku katakan. Kemudian dia melontarkan satu pertanyaan, "Solusi apa yang telah kamu ketemui dari hasil kasyaf dan ilhammu?" Apakah ia sejajar dengan hasil pemikiran spekulatif?" Aku jawab, "Iya dan tidak. Di antara iya dan tidak ini, tidak ada arwah akan terbang jauh di atas materi dan leher-leher akan terpisah dari tubuh-tubuhnya." Ibn Rusyd menjadi pucat, dan aku lihat dia menggeletar ketika dia membisik, "La hawla wa la quwwata illa billah" (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah). Ini adalah karena dia paham isyaratku.

Setelah itu, dia menanyakan kepada ayahku tentang diriku, supaya dapat membandingkan pendapatnya tentang aku dan ingin mengetahui apakah ia sama dengan pendapat ayahku, atau bertentangan dengan pendapatnya. Tidak ragu lagi Ibn Rusyd adalah seorang ahli pikir dan filsafat. Dia bersyukur kepada Tuhan karena dia telah bertemu dengan seorang yang telah memasuki khalwah, dalam keadaan jahil dan meninggalkannya sebagaimana yang aku lakukan. Dia berkata, "Ini adalah sesuatu yang aku sendiri telah membuktikan kemungkinannya tanpa pertemuan dengan orang yang telah mengalaminya. Subhanallah, aku hidup pada masa adanya ahli pengalaman ini, seorang yang bisa membuka kunci pintu-pintu-Nya. Subhanallah yang telah menganugerahkan aku pertemuan dengan salah seorang dari mereka dengan mataku sendiri.6
Pertemuan ini mempunyai banyak arti implisit tentang pribadi spiritual Ibn ‘Arabi. Umur beliau pada waktu baru sekitar lima belas tahun, tetapi pengalaman spiritualnya tidak bisa ditandingi filsafat Ibn Rusyd.

Dalam pertemuan keduanya pada tempat yang sama Ibn ‘Arabi menceritakan:
Aku ingin bertemu dengan Ibn Rusyd sekali lagi. Rahmat Ilahi membuat dia tampak kepadaku dalam keadaan ekstase hingga di antara dirinya dan diriku ada tirai yang tipis. Aku melihatnya lewat tirai itu tanpa dia melihatku atau menyadari bahwa aku berada di sana. Sebenarnya dia terlalu tenggelam dalam tafakkurnya sehingga tidak sadar terhadapku. Kemudian aku berkata kepada diriku: "Tafakkurnya tidak akan mengarahkannya pada tempat aku berada sekarang."
"Tirai tipis" ini adalah isyarat pada ketransendentalan (transcendentness) metafisika (baca: ‘irfân atau irfan) atas filsafat. Irfan bisa menembus tirai dan melihat filsafat, sementara filsafat masih buta terhadap irfan, namun ia hanya bisa menyerah secara filosofis di depan irfan.
Salah seorang perempuan sufi yang dihormati Ibn ‘Arabi adalah Fatimah binti Abi Mutsanna dari Asbella [Sevilla]. Ibn ‘Arabi menuturkan:

Aku bertemu dengannya dalam usia sembilan puluhan tahun. Dia hanya memohon makanan yang biasa didapatkan oleh orang-orang miskin. Sangat sedikit makanan yang dia makan. Aku tersipu ketika sempat melihat wajahnya yang anggun dengan kedua pipinya yang lembut kemerah-merahan padahal umurnya sudah sembilan puluhan. Dia terbiasa membaca Surah al-Fatihah. Dia berkata kepadaku, "Faidah al-Fatihah yang aku harapkan adalah untuk menyelesaikan segala urusan apa pun bentuknya."

Rumah yang ditempatinya terbuat dari pelepah kurma. Dia berkata, "Aku tidak suka sembarang orang datang kepadaku selain si fulan." Maksudnya aku.

Ketika ditanya apakah sebabnya begini, beliau menjawab, "Kalian semuanya datang dengan sebagian diri kalian, membiarkan sebagian lainnya sibuk dengan urusan lain, sementara Ibn ‘Arabi adalah satu penenang bagiku, karena dia datang dengan keseluruhan dirinya. Ketika dia berdiri, dia berdiri dengan keseluruhan dirinya, ketika dia duduk, dia duduk dengan keseluruhan dirinya, tidak membiarkan apa pun dari dirinya di tempat lain. Inilah yang harus dicapai dalam tarikat." (Ibnu Arabi, 2003: 162-3)

2.1.2. Ibn ‘Arabi: Titik Balik Tradisi Tasawuf

Tasawuf sebelum Ibn ‘Arabi banyak sekali terfokus pada bimbingan amali atau panduan praktis untuk para murid ataupun berbagai ungkapan sufi yang mengekspresikan al-ahwâl (keadaan-keadaan spiritual) atau al-maqam (pengalaman spiritual) yang telah mereka alami. Tetapi dengan keberadaan Ibn ‘Arabi, tiba-tiba kita berhadapan dengan doktrin ‘irfan, kosmologi, termasuk psikologi dan antropologi yang sangat monumental, hingga menjadi turning point dalam tradisi tasawuf. Ibn ‘Arabi telah mengekspresikan doktrin tasawuf dalam bentuk dan rumusan teoretis. Doktrin tasawuf—yang sebelumnya hanya secara implisit terkandung dalam kata-kata para syaikh sufi—di tangan Ibn ‘Arabi telah diformulasikan secara benderang. Ibn ‘Arabi telah menjadi pemapar par excellence tasawuf Islam. Kata Seyyed Hossein Nasr,
Through him the esoteric dimension of Islam expressed itself openly and brought to light the contours of its spiritual universe in such a manner that in its theoretical aspect, at least, it was open to anyone having sufficient intelligence to contemplate, so that he could in this way be guided toward the Path in which he could come to realize the metaphysical theories in an "operative" manner."
Nasr melanjutkan lagi,
The importance of Ibn Arabi consists, therefore, in his formulation of the doctrines of Sufism and in his making them explicit.

Tetapi kemunculan Ibn ‘Arabi sama sekali tidak menandakan satu "kemajuan" dalam tasawuf dengan menjadi lebih teoretis maupun terartikulasikan. Ia juga tidak menandakan kemunduran dari cinta Tuhan kepada satu bentuk panteisme. Malah dengan memformulasikan doktrin-doktrin tasawuf secara eksplisit oleh Ibn ‘Arabi, ia hanya menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu membutuhkan penjelasan dan klarifikasi yang lebih banyak agar bisa memahaminya. Poin yang ingin ditampakkan oleh Hossein Nasr adalah,…the need for explanation does not increase with one’s knowledge; rather, it becomes necessary to the extent that one is ignorant and has lost the immediate grasp of things through a dimming of the faculty of intuition and insight.

Dengan kata lain, mengeksplisitkan doktrin irfan, hanya menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah hilang akses pada fakultas intuisi dan batin. Maka itu mereka membutuhkan penjelasan yang teoretis yang sangat elaboratif.

Menurut Nasr, keberadaan doktrin irfan yang telah diformulasikan Ibn ‘Arabi bisa memelihara keterjagaan auntentisitas tradisi tasawuf di tengah manusia-manusia yang sering berada dalam bahaya penyimpangan lewat pikiran yang tidak benar dan juga karena mereka sudah kehilangan akses pada intuisi intelektual.

Melalui doktrin irfan Ibn ‘Arabi, tasawuf telah mendominasi kehidupan spiritual dan intelektual Islam sampai sekarang. Sekali lagi, yang ingin ditegaskan di sini, Ibn ‘Arabi telah menjadikan esoterisme sebagai poros dan pusat dimensi fundamental sekaligus esensial dalam Islam.

2.2. Karya-karya Ibn ‘Arabi

Ibn ‘Arabi tidak menulis seperti penulis biasa. Ia pernah berkata,
"Apa yang telah aku tulis, tidak pernah tertulis dengan satu tujuan sebagaimana penulis-penulis yang lain. Cahaya-cahaya dari inspirasi Ilahi sering terpancar kepadaku dan hampir menyelubungiku, hingga aku hanya bisa mengekspresikannya dari pikiranku dan mencatat di kertas apa yang telah ditampakkan untukku. Jika tulisanku tampak berupa sebuah komposisi, itu terjadi tanpa disengaja. Sebagian karyaku, telah kutulis karena perintah dari Tuhan, yang telah disampaikan kepadaku di dalam mimpi atau melalui kasyaf. Kalbuku berpaut di pintu Hadirat Ilahi, menunggu dengan penuh kesadaran apa yang akan datang ketika pintu itu terbuka. Kalbuku fakir dan membutuhkan, kosong dari segala ilmu. Ketika sesuatu mulai tampak kepada kalbu dari balik tirai, kalbu segera menaatinya dan mencatatnya dalam batasan yang sudah ditentukan."

Karya Ibn ‘Arabi yang terbesar dan ensiklopedis adalah Futuhat al-Makkiyyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga tercatat di dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Futuhat, tegas Ibn ‘Arabi, bukanlah satu karya individualis, tetapi,"Ketahuilah bahwa susunan bab-bab di dalam Futuhat bukanlah hasil dari pilihanku sendiri maupun dari pikiranku. Sebenarnya, Tuhanlah yang telah mendikte kepadaku semua yang telah kutulis lewat malaikat inspirasi."

Nasr menjelaskan tentang isi Futuhat, "The Futuhat contains, in addition to the doctrines of Sufism, much about the lives and sayings of the earlier Sufis, cosmological doctrines of Hermetic and Neoplatonic origin integrated into Sufi metaphysics, esoteric sciences like Jafr, alchemical and astrological symbolism, and practically everything else of an esoteric nature which in one way or another has a found a place in the Islamic scheme of things."

Fushush al-Hikam, menurut Ibn ‘Arabi adalah pemberian dari Nabi sendiri.

"Amma ba’du, aku telah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, dalam satu penglihatan batin ("mubasysyirah") yang telah diperlihatkan kepadaku di sepuluh hari terakhir di bulan Muharam pada tahun 627 di kota Damisyq. Dan di tangan beliau, ada sebuah kitab. Beliau berkata kepadaku: ‘Ini adalah kitab Fushush Al-Hikam. Ambillah ia dan sampaikanlah ia kepada manusia dan manfaatkannya.’ Dan aku berkata: ‘Aku dengar dan aku taat Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amr dari kalangan kami sebagaimana yang telah diperintahkan kepada kami.’"
Jelas dari kalimat Ibn ‘Arabi, kitab Fushush al-Hikam bukanlah karyanya sendiri. Tetapi secara esensial ia adalah kitab dari Sumber Ilahi. Ibn ‘Arabi sekadar menyatakan kitab tersebut dalam bentuk tulisan.

"Maka aku pun mengaktualisasikan pesan tadi, dan mengikhlaskan niat, serta memfokuskan keinginan dan aspirasi untuk menyatakan kitab tersebut sebagaimana yang telah ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa penambahan dan pengurangan."
Tentang nama kitab ini, Qaysari menafsirkan ketika Ibn ‘Arabi memberitahu, "Ini adalah kitab Fushush al-Hikam", ada kemungkinan di sini beliau ingin memberitahu bahwa nama kitab tersebut di sisi Allah adalah sebagaimana yang disebutkan, maka itu Nabi menamakan kitab itu sesuai dengan namanya di sisi Allah. Sudah tentu antara "nama" (al-ism) dan "yang dinamakan" (al-musamma) akan ada relasi. Dan namanya menandakan bahwa "yang dinamakan" adalah intisari (quintessence) hikmah-hikmah dan rahasia yang telah diturunkan kepada arwah para nabi yang disebut dalam kitab itu. Al-Fashsh juga berarti tempat terletaknya batu-cincin atau cap-cincin (seal). Karena kalbu insan kamil adalah tempat tertulisnya hikmah Ilahiah, maka itu kalbu diumpamakan sebagai al-fashsh. Dari itu kata Fushush al-Hikam berarti tempat terletaknya batu-cincin yang bernilai atau dengan kata lain, ia adalah kalbu-kalbu insan kamil yang terletak dan terkandung di dalamnya hikmah dan rahasia Ilahiah. Dan insan kamil di sini direpresentasi dengan para nabi, yang kalbu mereka adalah lokus termanifestasinya hikmah Ilahiah.

Metafora tentang tempat yang terletak di dalamnya batu-batu bernilai, mengisyaratkan kepada kemanusiaan seseorang nabi sekadarmana dia adalah penerima) hikmah Ilahiah, namun kata Titus Burckhardt: "This aspect of symbolism, which corresponds to the human appearance of things, is to be found compensated and as if enlarged by the formula that Ibn ‘Arabi adopts for the titles of the various parts of his book: ‘The setting of the Divine Wisdom in the Word of Adam’, ’The setting of the Wisdom of Divine Inspiration in the Word of Seth’, ‘The setting of the Wisdom of Transcendence in the Word of Noah’ etc. According to these expressions, the setting, that is to say the individual form of the prophet, is in its turn contained in the Word (al-kalimah), which is the essential and Divine Reality of this same prophet; in fact by its ‘active’ identification with the Divine Wisdom, each prophet is an immediate determination of the eternal Word, which is the primordial ‘enunciation’ of God."

Menurut kalimat Ibn ‘Arabi, hikmah Ilahiah ditempatkan di dalam al-fashsh atau kalbu nabi. Kemudian dengan kalimat Fashshu Hikmatin Ilahiyyatin fi kalimatin Adamiyyah, mengisyaratkan bahwa seluruh al-fass pula terletak di dalam al-kalimah. Ternyata ada dua ‘tempat’ di sini. Satunya al-fass dan yang satu lagi adalah al-kalimah. Menurut keterangan Titus Burckhardt al-fass adalah bentuk individual nabi (the individual form of the prophet) sementara al-kalimah adalah esensi dan realitas dari nabi yang sama (the essential and Divine reality of the same prophet). Malah dalam identifikasi aktif setiap nabi dengan Hikmah Ilahiah, atau dengan kata lain penyatuan aktif nabi dan Hikmah Ilahiah (secara ilmu hudhuri), setiap nabi adalah determinasi (al-ta’ayyun) Kalimat Ilahiah. Sementara Kalimat Ilahiah adalah zikir primordial Tuhan.

"It is the ‘words’ which contain the ‘settings’, for it is the individual who is contained by the universal and not inversely, in spite of human appearances. Every prophet, as Perfect Man, ‘contains’, then, himself, since he ‘contains’ the Divine Wisdom, and in relation to his interior and ‘supra-individual’ reality he ‘is’ this Wisdom; now, this latter contains the perfect humanity of the Man-God, and it is this aspect of things which corresponds to the ontological reality, without annulling, however, the ‘reality’ which is apparent from the human point of view."

Al-kalimah yang sebenarnya mengandungi al-fashsh, karena yang individual yaitu "al-juz’i" yang akan terkandung di dalam yang universal yaitu "al-kulli" dan tidak sebaliknya. Dengan kata lain, manusia dalam derajat individual yang terkandung di dalam manusia derajat universal. Ketika terjadi penyatuan antara manusia individual dengan Hikmah Ilahiah, manusia itu adalah determinasi Kalimat Tuhan. Maka itu setiap nabi sebagai Insan Kamil mengandungi dirinya sendiri yaitu diri individualnya karena ia mengandungi Hikmah Ilahiah. Dan berkaitan dengan diri universal dan esensialnya pula, dia adalah identik dengan Hikmah tersebut. Sekali lagi saya mau menegaskan, secara lahiriah kelihatannya manusia yang mengandungi Hikmah Ilahiah tetapi sebenarnya Hikmah Ilahiah yang mengandungi manusia.
Syaikh al-Akbar juga menulis berbagai aspek al-Quran, termasuk simbolisme huruf-huruf, mengenai asma’ dan sifat Ilahiah, mengenai syariat dan hadis dan hampir semua yang berkaitan dengan urusan religius dan spiritual. Beliau juga pernah menulis syair sufi seperti Tarjuman al-Asywaq (The Interpreter of Desires) dan juga Diwan.

Sabtu, 30 Ogos 2008

Sejarah Ringkas Imam 4 Mahzab

Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah atau nama sebenarnya Nu’man bin Thabit bin Zhuthi’ lahir pada tahun 80H/699M di Kufah, Iraq iaitu sebuah bandar yang sudah sememangnya terkenal sebagai pusat ilmu di ketika itu. Ianya diasakan oleh Abdullah Ibnu Mas’ud radiallahu –anhu (32H/65M), seoarang sahabat zaman Rasulullah saw. Ayahnya seorang pedagang besar, sempat hidup bersama Ali bin Abi Talib ra. Abu Hanifah sekali-sekala ikut turut serta dalam urus-niaga ayahnya, akan tetapi minatnya lebih mendalam ke arah membaca dan menghafal Qur’an.

Abu Hanifah di satu hari telah berjumpa dengan seorang tokoh agam besar di ketika itu, iaitu Imam Ash Sya’bi dan melihatkan kepintaran dan kecerdasan yang terpendam dalam fikiran muda Abu Hanifah, Imam AsySya’bi menasihatkan beliau agar lebih banyak mencurahkan usaha kedalam bidang ilmu-ilmu Islam. Dengan nasihat dan dorongan Asy Sya’bi-lah Abu Hanifah mula menceburkan dirinya secara khusus mempelajari ilmu-ilmu Islam.

Abu Hanifah mula belajar dengan mendalam ilmu-ilmu qiraat, ilmu arab, ilmu kalam dan lain-lain. Tetapi bidang ilmu yang paling diminatinya ialah bidang ilmu fiqh dan hadith; dan beliau banyak meluahkan tenaga mendalaminya. Abu Hanifah meneruskan pelajarannya dalam bidang fiqh dan hadith dengan bergurukan kepada Asy Sya’bi dan beberapa tokoh-tokoh ilmuan di Kufah. Menurut riwayat jumlah gurunya di Kufah sahaja berjumlah 93 orang.

Beliau kemudainnya berhijrah ke Basrah untuk berguru pula dengan Imam Hammad bin Abi Sulaiman, Imam Qatadah dan Imam Shu’bah. Setelah sekian lama berguru dengan as-Shu’bah yang ketika itu dikenal sebagai Amir al-Mukminin fii Hadith (Pemimpin ummat bidang hadith), beliau diizinkan gurunya untuk mengajar hadith kepada orang ramai. Berkata as-Shu’bah: Sebagaimana aku mengetahui dengan pasti akan kesinaran cahaya matahari, aku juga ketahui dengan pasti bahawa ilmu dan Abu Hanifah adalah sepasang bersama.

Abu Hanifah tidak hanya berpuas hati dengan pembelajarannya di Kufah dan Basrah. Beliau kemudiannya turun ke Mekah dan Madinah untuk menuntut ilmu. Disana beliau duduk berguru dengan Imam Atha bin Abi Rabah. Kemudiannya Abu Hanifah duduk pula bersama Imam Ikramah, seorang tokoh besar di Mekah, yang juga merupakan anak murid kepada Abdullah ibnu Abbas, Ali bin Abi Talib, Abu Hurairah dan Abdullah ibnu Umar ra-anhum. Kehandalan Abu Hanifah dalan ilmu-ilmu fiqh dan hadith diiktiraf oleh Imam Ikramah sehingga beliau kemudiannya membenarkan Abu Hanifah menjadi guru kepada penduduk-penduduk Mekah.

Abu Hanifah kemudian meneruskan pengajinnya ke Madinah bersama Imam Baqir dan Imam Ja’afar as-Sadiq. Kemudian beliau duduk bersebelahan dengan Imam Malik bin Anas, tokoh besar kota Madinah ketika itu. Walaupun Abu Hanifah 13 tahun lebih dewasa dari Imam Malik, ini tidak menghalangnya untuk turut serta belajar. Apabila guru kesayangannya Imam Hammad meninggal dunia di Basrah pada tahun 120H/738M, Abu Hanifah telah diminta untuk mengganti Hammad sebagai guru dan sekaligus tokoh agama Basrah. Melihatkan tiada siapa lain yang akan meneruskan perjuangan ilmu Imam Hammad, Abu Hanifah bersetuju kepada jawatan tersebut.
Mulai disinilah Abu Hanifah mula mengajar dan menjadi tokoh besar terbaru dunia Islam. Orang ramai dari serata pelusuk dunia Islam datang untuk belajar bersamanya. Pengaruhnya juga mula tersebar luas sebagai Imam Mujtahid yang besar. Disamping mengajar, Imam Abu Hanifah adalah seorang pedagang dan beliau sangat bijak dalam mengadili antara dua tnggung-jawabnya ini, sebagaimana keterangan anak muridnya al- Fudail ibnu Iyab:

Adalah Abu Hanifah seorang ahli hukum, terkenal dalam bidang fiqh, banyak kekayaan, suka mengeluarkan harta untuk siapa yang memerlukannya, seorang yang sangat sabar dalam pembelajaran baik malam atau siang hari, banyak berdiam diri, sedikit berbicara terkecuali datang kepadanya sesuatu masaalah agama, amat pandai menunjuki manusia kepada kebenaran dan tidak mahu menerima pemberian penguasa.

Dimasa pemerintahan Abbasid, Khalifah al-Mansur telah beberapa kali meminta beliau menjawat sebagai qadi kerajaan. Beliau tetap berkeras menolak jawatan itu. Jawapan Abu Hanifah membuatkan Mansur marah, lalu dia menghantar Abu Hanifah ke penjara. Akan tetapi tekanan dari orang ramai menyebabkan Mansur terpaksa membenarkan Abu Hanifah meneruskan pengajarannya walaupun dalam penjara. Apabila orang ramai mula mengerumuni penjara untuk belajar dengan Abu Hanifah, Mansur merasakan kedudukannya mula tercabar dan tergugat. Mansur merasakan Abu Hanifah perlu ditamatkan hayatnya sebelum terlambat.

Pada usia 70 tahun, akhirnya Imam Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rjab 150H/767M ketika dalam penjara, disebabkan termakan makanan yang diracuni orang. Dalam riwayat lain disebutkan bahawa beliau dipukul dalam penjara sehingga mati. Kematian tokoh ilmuan Islam ini dirasai olah dunia Islam. Solat jenazahnya dilangsungkan 6 kali, setiapnya didirikan oleh hampir 50,000 orang jamaah. Imam Abu Hanifah mempunyai beberapa orang murid yang ketokohan mereka membolehkan ajarannya diteruskan kepada masyarakat. Antara anak-anak murid Imam Abu Hanifah yang ulung ialah Imam Zufar (158H/775M), Imam Abu Yusuf (182H/798M) dan Imam Muhammad Hasan as-Shaibani (189H,805805M
Imam Malik bin Anas

Imam Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 63H/711M. Beliau dilahirkan dalam sebuah kota yang ketika itu terkenal sebagai pusat ilmu–ilmu Islam. Sejarah keluarganya juga ada hubung-kait dengan ilmu Islam, dengan datuknya sendiri sebagai perawi dan penghafal hadith yang terkemuka. Pakciknya juga Abu Suhail Nafi adalah seorang tokoh hadith Madinah ketika itu, dan dengan pakciknyalah Malik bin Anas mula mendalami ilmu-ilmu agama, khususnya hadith. Abu Suhail Nafi adalah seorang tabien yang sempat menghafal hadith dari Abdullah ibnu Umar, A’isyah binti Abu Bakar, Ummu Salamah, Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudri.

Selain Nafi, Malik bin Anas juga duduk berguru dengan Imam Ja’afar as Sadiq, cucu kepada al-Hasan, cucu kepada Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam. Malik juga duduk belajar di Masjid Nabawi, berguru dengan Muhammad Yahya al-Ansari, Abu Hazim Salamah ad-Dinar, Yahya bin Saad dan Hisham bin Urwah. Mereka ini semua adalah anak murid kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. Suasana kehidupan Malik bin Anas di Madinah yang ketika itu dipenuhi dangan para tabien amatlah menguntungkannya. Para tabien ini ialah mereka yang sempat bersama sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. Mereka sempat belajar, mendengar hadith dan mengamalkan perbuatan para sahabat secara terus. Inilah antara sebab kenapa Malik bin Anas tidak pernah meninggalkan kota Madinah kecuali apabila pergi menunaikan ibadat hajinya.

Malik bin Anas kemudiannya mengambil alih sebagai tokoh agama di Masjid Nabawi. Ajarannya menarik sejumlah orang ramai dari serta daerah dunia Islam. Beliau juga bertindak sebagai mufti Madinah di ketika itu. Imam Malik juga adalah yang pertama dalam mengumpulkan dan membukukan hadith-hadith Rasulullah saw dalam kitabnya Al Muwattha’. Kitabnya itu menjadi hafalan dan rjukan ramai sehinggakan pernah dikatakan oleh Imam Syafie: tiada pernah wujud sebuah buku di bumi yang paling hampir kepada al-Quran melainkan kitab Imam Malik ini.

Antara tokoh besar yang belajar bersama Imam Malik ialah Imam Abu Hanifah dari Kufah. Selain itu diriwayatkan sebanyak 1300 tokoh-tokoh lain yang duduk bersama menuntut ilmu bersama Imam Malik di Masjid Nabawi. Antaranya termasuklah Muhammad bin Idris, yang kemudiannya terkenal sebagai nama Imam Syafie. Ketinggian ilmu Imam Malik juga diterangkan oleh Imam Ahmad bin Hambal: Malik adalah penghulu dari para penghulu ahli ilmu dan dia pula seorang imam dalam bidang hadith dan fiqh. Siapakah gerangan yang dapat merupai Malik?

Imam Malik pernah dihukum oleh gabenor Madinah pada tahun 147H/764M kerana beliau tidak bersetuju malah menghukum fatwa kerajaan Abbasid sebagai tidak sah. Kerajaan Abbasid ketika itu telah membuat fatwa sendiri iaitu semua penduduk perlu taat dan berbai’ah kepada pemimpin; dan barangsiapa yang enggan akan terjatuh talak atas isterinya secaca automatis! Memandangkan suasana rakyat yang lebih taatkan ulama’ dari pemimpin di kala itu, pemerintah Abbasid telah memaksa Imam Malik mensahkan fatwa mereka. Imam Malik enggan malah mengeluarkan fatwa menyatakan bahwa talak sedemikian tidak sah. Imam Malik ditangkap dan di pukul oleh gabenor Madinah sehingga bahunya patah dan terkeluar dari kedudukan asalnya. Kecederaan ini amatlah berat sehinggakan beliau tidak lagi dapat bersolat dengan memegang kedua tangannya di dada, lalu dibiarkan sahaja di tepi badannya.

Imam Malik kemudiannya di bebaskan dan beliau kembali mengajar di Madinah. Di ketika itu juga beliau menghabiskan saat-saat kehidupannya dengan mengumpulkan dan menulis hadith-hadith Rasulullah sallallhu-alaihi-wasallam dan athar-athar (sebutan-pendapat) para sahabat radiallhu-anhum. Pada usia 86 tahun, Imam Malik meninggal di kota kelahirannya Madinah, pada 11 Rabiul-Awal tahun 179H/796M. Di antara anak-anak murid beliau yang ditinggalkan ialah Abdul Rahman al-Qasim at-Tashri (191H/807M), Imam Ibnu WahabAbu Muhammad al-Masri (199H/815M) dan Imam Yahya bin Yahya al-Masmudi (234H/849M).
Imam Asy-Shafie

Imam Shafie lahir di Gaza, Palestin pada tahun 150H/767M di atas nama Muhammad bin Idris ash-Shafie. Beliau mempunyai pertalian darah Quraish dan hidup tanpa sempat melihat ayahnya. Pada umur 10 tahun, ibunya membawanya ke Mekah untuk ibadah haji dan selepas itu beliau tetap berada di sana menuntut ilmu. Di Mekah ash-Syafie memulakan perguruannya kepada Muslim bin Khalid al-Zanji, mufti kota Mekah di ketika itu dan juga kepada Sufyan bin Uyayna.

Kitab ilmu yang paling terkemuka ketika itu ialah Al-Muattha’ karangan Imam Malik, dan ash-Syafie dalam usia mudanya 15 tahun telah menghafal keseluruhan kitab tersebut. Ash-Syafie kemudiannya berhijrah ke Madinah untuk berguru pula dengan penulis kitab itu sendiri, Imam Malik bin Anas. Ketika itu ash-Syafie berusia 20 tahun dan beliau terus duduk bersama Imam Malik sehinggalah kematiannya pada tahun 179H/796M. Ketokohan ash-Syafie sebagai murid terpintar Imam Malik mulai diiktiraf ramai. Ash-Syafie mengambil alih sebentar kedudukan pejabat oleh Gabenor Yaman. Jawatan ash-Syafie tidaklah lama di Yaman, apabila beliau dituduh dan difitnah sebagai pengikut dan pendokong ajaran Syiah. Disamping itu berbagai konspirasi lain di jatuhkan ke atasnya, sehinggalah beliau dirantai dan dihantar ke penjara Bagdad, pusat pemerintahan Dinasti Abbasid ketika itu.

Ash-Shafie dibawa menghadap ke Khalifah Harun al-Rasyid dan berjaya membuktikan kebenaran dirinya. Kehandalan serta kecekapan asy-Syafie membela dirinya dengan berbagai hujjah-hujjah agama menyebabkan Khalifah Harun sendiri tertarik kepadanya. Asy-Syafie dibebaskan dan dibiarkan bermastautin di Baghdad. Di sini Ash-Syafie telah berkenalan dengan tokoh-tokoh Imam Abu Hanifah dan duduk berguru dengan mereka, terutamanya dengan Imam Muhammad al-Hasan asy-Syaibani. Suasana ini memberikan kelebihan yang utama bagi ash-Syafie, iaitu beliau berkesempatan untuk belajar dan membandingkan antara dua ajaran fiqh Islam, iaitu ajaran Imam Malik bin Anas dan ajaran Imam Abu Hanifah.

Pada tahun 188H/804M, ash-Syafie kembali berhijrah ke Mesir. Sebelum itu beliau singgah sebentar di Mekah dan di sana beliau di beri penghormatan sebagai tokoh besar dan dipelawa untuk memberi ceramah dan kuliah. Ash-Syafie kini mula diiktiraf sebagai seorang Imam, dan beliau banyak meluahkan usaha untuk cuba menutup lurah-lurah perbezaan antara Imam Malik dan Imam Abu-Hanifah. Usahanya ini tidak disambut baik oleh penduduk Mekah kerana kebiasaan mereka kepada ajaran asal Imam Malik.

Pada tahun 194H/810M, Imam Syafie kembali semula ke Baghdad dan beliau di pelawa untuk memegang jawatan qadi bagi Dinasti Abbasid. Beliau menolak dan hanya singgah selama 4 tahun di Baghdad. Imam Syafie kembali ke Mesir dan memusatkan ajarannya di sana. Daud bin Ali pernah di tanya akan kelebihan Imam Syafie berbanding tokoh-tokoh lain di ketika itu, maka beliau menjawab: ash-Syafie mempunyai beberapa keutamaan, berkumpul padanya apa yang tidak terkumpul pada orang lain. Dia seorang bangsawan, dia mempunyai agama dan I’tiqad yang benar, seorang yang sangat murah hati , mengetahui hadith sahih dan hadith dhaif, nasikh, mansukh, menghafal al-Quran dan hadith, perjalanan hidup para Khulafa’ Rashidun dan amat pandai mengarang.

Dalam usahanya untuk cuba menutup lurah-lurah perbezaan antara Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, beliau menghadapi berbagai tentangan dari pengikut-pengikut Imam Malik yang taasub kepada guru mereka. Di suatu malam, dalam perjalanan balik ke rumah dari kulaih Maghribnya di Mesir, Imam Syafie telah dipukul oleh pengikut-pengikut Imam Malik yang fanatik sehingga menyebabkan beliau cedera parah dan akhirnya meninggal dunia. Di ketika itu, Imam Syafie juga sendang menghadapi penyakit buasir yang agak serius.

Pada usia 54 tahun, Imam Syafie meninggal dunia pada 29 Rejab tahun 204H/820M di Mesir, meninggalkan kepada dunia Islam sebuah kitab yang paling agung dalam bidang usul fiqh iaitu kitab al-Risala. Kitab ini adalah yang terulung dalam menyatakan kaedah-kaedah mengeluarkan dan mengistimbatkan hukum dari satu dalil yang ada. Selain itu Imam Syafie juga meninggalkan kitab fiqhnya yang masyhur, al-Umm. Ajaran Imam Syafie diteruskan oleh beberapa anak muridnya yang utama seperti Imam Abu Yakub al-Ruwati (231H/ 846M), Imam Rabi bin Sulaiman al-Marali (270H/884M), Imam Abu Ibrahim bin Yahya al-Muzani (274H/888M) dan terutama ialah Imam Ahmad bin Hambal (241H/856M).
Imam Ahmad bin Hambal

Imam Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal dilahirkan di Baghdad pada tahun 164H/781M. Ayahnya seorang mujahid Islam dan meninggal dunia pada umur 30 tahun. Ahmad kemudiannya di besarkan oleh ibunya Saifiyah binti Maimunah. Ahmad bin Hambal menghafal Quran sejak kecil dan pada umurnya 16 tahun dia sudah juga menjadi terkenal sebagai penghafal hadith. Ahmad bin Hambal meneruskan pengajian hadithnya kepada sekian ramai guru dan beliau di akhir hayatnya dijangkakan telah menghafal lebih dari sejuta hadith-hadith, termasuk barisan nama-nama perawinya. (Even though we do not deny that Imam Ahmad had memorised hadith since young age, but the amount saying more than a million is only an assumption according to an ustaz who teaches this book. There is no confession from Imam Ahmad himself.)

Pada tahun 189H/ 805M Ahmad bin Hambal berhijrah ke Kota Basrah untuk menuntut dan tidak lama kemudian ke Mekah dan Madinah pula. Di sanalah beliau sempat duduk berguru dengan Imam Shafie. Sebelum itu guru-gurunya yang masyhur ialah Imam Abu Yusuf, Husyain ibn Abi Hazim al-Washiti, Umar ibn Abdullah ibn Khalid, Abdul Rahman ibn Mahdi dan Abu Bakar ibn ‘Iyasy. Pada tahun 198H, Ahmad bin Hambal ke Yaman pula untuk berguru pula dengan Imam Abdur Razzak ibn Human (pengarang kitab hadith ‘Musnad Abdur Razak’). Dalam perjalanannya ini, Ahmad mula menulis hadith-hadith yang dihafalnya setelah sekian lama.

Ahmad bin Hambal kembali semula ke Baghdad dan kini mula mengajar dan bertindak sebagai guru. Kehebatannya sebagai penghafal hadith dan pakar fiqh menarik perhatian orang ramai dan mereka mula mengerumuninya untuk belajar bersama. Antara anak muridnya yang kemudian berjaya menjadi tokoh hadith terkenal ialah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Daud. Al-Qasim ibn Salam berkata : Ahmad bin Hambal adalah orang yang paling ahli dalam bidang hukum, dan aku tidak melihat ada orang yang lebih mengetahui tentang as-Sunnah selain dia. Dia tidak pernah bersenda gurau, dia selalu berdiam diri, tidak memperkatakan apa-apa selain ilmu.

Imam Ahmad bin Hambal mengalami berbagai pengalaman hidup dalam penjara kerana kekerasannya menentang fahaman Mu’tazilah yang menyatakan al-Quran itu adalah suatu makhluk. Lebih memburukkan lagi ialah apabila fahaman ini diterima oleh pemerintah Abbasid ketika itu dan dia memaksa Imam Ahmad untuk mensahkan pendapat tersebut. Imam Ahmad tetap menentang dan dia dipukul dan dirotan dalam penjara sehingga tidak sedarkan diri.

Ketegasan Imam Ahmad dan tekanan dari orang ramai akhirnya menyebabkan pihak pemerintah terpaksa membebaskan beliau. Imam Ahmad kemudian meneruskan pengajarannya kepada orang ramai sehinggalah kematiannya pada tahun 241H/856M. pada usia 77 tahun. Imam Ahmad meninggalkan kepada dunia Islam kitab hadithnya yang terkenal iaitu Musnad Ahmad yang mengandungi 50,700 riwayat-riwayat hadith Rasulullah s.a.w. dan athar-athar para sahabat ra-anhum. Dua orang anaknya yang utama meneruskan perjuangan Imam Ahmad, iaitu Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal dan Saalih ibnu Ahmad ibnu Hambal.