Rabu, 26 November 2008

Zuhd dan Faqr Dalam Pemikiran Hamzah Fansuri dan Ayatullah Khomeini
Tuesday, 15 July 2008

Terus terang, saya merasa kikuk ketika perama kali diminta berbicara dalam majelis ini dengan topik yang tertera dalam surat panitia kepada saya. Soalnya, saya telah lama tidak membaca buku-buku atau karangan-karangan Ayatullah Khomeini berkenaan dengan `irfan atau tasawuf. Tetapi setelah saya membaca lagi sebuah edisi Indonesia buku Syarh al-Arba`in Haditsan suntingan Muza Kashim, yang diterjemahkan menjadi 40 Hadis: Telaah Hadis-hadis Mistis dan Akhlak (Bandung: Mizan, 2004) saya lantas memperoleh keberanian untuk menyajikan pembahasan dalam forum ini.

Namun disebabkan luasnya wilayah pembahasan tasawuf atau `irfan sebagai disiplin ilmu Islam, saya pilih membahas dua konsep penting atau kunci dalam ilmu ini, yaitu zuhd dan faqr. Yang pertama, merupakan permulaan di jalan cinta yang ditempuh ahli suluk untuk mencapai kedekatan dan persatuan dengan Yang Haqq, Sang Mahbub, seperti dikatakan Rumi dalam bait puisinya, “Inilah cinta: mula pertama menyangkal dunia (zuhd), kemudian terbang melesat ke langit…” Yang kedua, faqr adalah maqam (peringkat tertinggi) di jalan makrifat yang diikuti dengan dua keadaan ruhani (ahwal) yang dialami ahli suluk, yaitu fana dan baqa’.


Dua konsep ini menyebabkan ahli-ahli tasawuf secara pukul rata dipandang anti-dunia dan anti-peradaban, dan gerakan keruhanian mereka seperti tariqat oleh kalangan modernis dan pembaru dipandang sebagai sumber kemunduran dan keterbelakangan Islam. Apalagi kemudian istilah ini diterjemahkan menjadi ‘ascetism’ dalam bahasa Inggeris, dan mengaitkan gerakan dan praktik zuhud dalam Islam dengan praktik para rahib Kristen, yang disebabkan oleh penindasan bangsa Romawi menyebarkan agama mereka secara diam-diam.


Akan tetapi apabila kita mempelajari sejarah tersebarnya agama Islam pada abad ke-13 –17 di India dan Asia Tenggara, terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam yang maju di wilayah-wilayah ini, kita mungkin harus berpikir ulang. Tanpa keterlibatan para sufi dalam jaringan perdagangan internasional, dan jaringan-jaringan lain seperti jaringan intelektual, pendidikan, dan persaudaraan sufi ketika, kita tidak dapat membayangkan Islam berkembang pesat di kepulauan Nusantara. Dalam hikayat-hikayat Melayu mereka disebut faqir atau darwish, yang tidak lain adalah sufi yang gemar mengembara ke berbagai pelosok negeri untuk menyebarkan agama. Di dalam babad Jawa mereka kerap disebut wali.


Mereka bekerja tanpa kenal lelah dan tanpa pamrih. Agar mandiri, dan tidak tergantung pada penguasa, ada di antara mereka yang berdagang, menjadi tabib, perajin, pengusaha kapal, guru bela diri dan lain sebagainya. Mereka mendirikan madrasah dan pesantren dengan hasil jerih payah mereka sendiri seperti misalnya Hamzah Fansuri dan para wali di Jawa seperti Sunan Bonang dan Sunan Giri. Contoh terbaik untuk ini adalah Sarekat Dagang Islam yang kemudian bernama Sarekat Islam (SI). Gerakan kebangsaan pertama yang lahir pada tahun 1905 ini didirikan oleh para pemimpin dan anggota tariqat sufi seperti H. Omar Said Cokroaminoto dan H. Samanhudi, yang pada umumnya adalah saudagar. Seperti untuk menjadi anggota tariqat seseorang harus dibaiat,
Zuhud, Wara` dan Cinta Dunia
Dalam banyak risalah tasawuf yang awal, pembicaraan tentang zuhd (selanjutnya zuhud) dan faqr (selanjutnya faqir), kerap disajikan pada bab-bab permulaan. Misalnya dalam kitab Kashf al-Mahjub, karangan sufi Persia abad ke-11 M Ali Utsman al-Hujwiri. Dalam fasal yang membahas masalah itu di antaranya terdapat kutian ucapan Warraq al-Tirmidhi, “Mereka yang puas dengan ilmu kalam dalam menerangkan pengetahuan agama, namun tidak mengamalkan zuhud dia akan menjadi zindiq; dan mereka yang puas dengan fiqih, tanpa mengamalkan wara` akan tercela sifatnya.” (KM 17). Sedangkan Abu Nashr al-Sarraj (w. 389 H) dalam Kitab al-Luma`, lebih memperhatikan persoalan faqir dan wara`, sedangkan pengertian dengan zuhud atau penyangkalan terhadap dunia dilakukan secara tersirat saja. Ini dapat dimengerti karena para sufi tidak mau disamakan dengan golongan zuhudiyah.


Dalam Syrah al-Arba`in Haditsan Ayatullah Khomeini membicarakan zuhud pada bagian akkhir bukunya, dan menyebutnya sebagai tingkatan tertentu dari sikap wara`. Wara` diartikan sebagai “Kehati-hatian yang tinggi disertai rasa takut atau disiplin ketat untuk memuliakan Allah.” Beliau membagi peringkat-peringkat wara` sebagai berikut: Pada orang awam artinya meninggalkan dosa-dosa besar. Pada orang terpilih artinya ialah berpantang dari hal-hal yang syubhat karena kuatir tergerlincir pada hal-hal yang dilarang agama. Pada ahli zuhud artinya ialah berpantang dari hal-hal yang diperbolehkan oleh agama untuk menghindari beban berat dari akibat-akibat yang mungkin ditimbulkan. Pada penempuh jalan `irfan ia berarti berpantang dari memandang dunia demi mencapai pelbagai maqam. Pada orang yang hatinya telah tertawan dalam wujud Ilahiyah (majdhub) artinya ialah membebaskan diri dari maqam atau peringkat ruhani yang dicapainya untuk menyaksikan keindahan-Nya (SAH 574-5)


Tetapi menurutnya yang paling utama ialah wara` dalam arti bersikap hati-hati terhadap apa yang telah dilarang Allah. Hati orang yang tidak hati-hati terhadap apa yang diharamkan itu akan menjadi gelap dan penuh karat.

Walaupun Ayatullah Khomeini tidak membicarakan zuhud secara tersirat, kecuali yang berkaitan dengan wara’, tetapi dalam sebuah fasal awal dari tafsir hadisnya beliau menguraikan makna hermeneutik dari sebuah hadis yang menerangkan tercelanya sifat orang yang cinta berlebihan kepada dunia, suatu sikap yang mendorong berkembangnya konsep zuhud pada permulaan lahirnya gerakan tasawuf. Hal yang sama juga dibahas oleh Hamzah Fansuri dalam Sharab al-`Ashiqin.

Dalam bab dua risalahnya itu Syekh Hamzah Fansuri menghubungkan makna zuhud dengan orang yang menyucikan hatinya dari pamrih-pamrih duniawi bagi segala ibadah dan pekerjaannya di dunia. Dia mengatakan bahwa, “Ilmu suluk atau tariqat itu tark al-dunya (tanggal dari dunia), yakni tidak menimbun harta banyak untuk kepentingan diri sendiri lebih daripada cukup untuk makan dan berkain”. Dengan mengutip sebuah hadis, dia mengatakan bahwa mencintai dunia merupakan pangkal kejahatan (Abdul Hadi WM 1995:70-1). Ini berulang kali dikemukakan dalam bait-bait syair makrifatnya

Ayatullah Khomeini dalam fasal bukunya yang telah disebutkan, memulai telaahnya dengan menjernihkan terlebih dulu pengertian ‘dunia’ dan ‘akhirat’. Sebab ‘dunia’ yang dimaksud para fuqaha` dan mutakalimun dalam wacana-wacana mereka , sangat berbeda dengan yang dimengerti oleh penempuh jalan makrifat (`irfan) namun telah disalah artikan oleh para fuqaha’ dan mutakallimun sebagai sikap yang membenci dan menolak dunia, yang kemudian menyebabkan ahli-ahli `irfan dan sufi dituduh sebagai sumber kemunduran Islam

Menurut Ayatullah Khomeini, dunia yang dimaksud oleh para penempuh `irfan dalam wacana-wacana mereka ialah “dunia yang tercela”, yaitu sifat-sifat yang harus dijauhi oleh orang yang mencari akhirat. Dunia semacam itulah yang dikutuk dalam al-Qur`an dan Hadis. Ia adalah dunia dalam arti ‘keseluruhan dari hal-hal yang menghalangi manusia dari menaati Allah dan mencegahnya dari cinta kepada-Nya, serta mencegahnya dari mencari akhirat’. Adapun pengertian ‘akhirat’ adalah sebaliknya. Ia adalah apa saja yang menyebabkan keridhaan Allah dan kedekatan manusia kepada-Nya, walaupun tampak seakan-akan masalah dunia seperti perdagangan, industri, pertanian, dan kerajinan yang tujuannya ialah untuk menjamin kehidupan keluarga agar mereka senantasa taat kepada perintah Allah. Begitu juga kegiatan yang seolah-olah tampak seperti masalah dunia dapat disebut sebagai ‘akhirat; apabila tujuannya untuk membelanjakan harta untuk beramal, membuat sejahtera orang miskin dan papa, serta untuk mencegah ketergantungan kepada orang lain, seperti penguasa yang zalim.

Beliau mengutip seorang arif yang mengatakan bahwa ‘dunia’ dan ‘akhirat’ dalam wacana `irfan itu merupakan dua keadaan batin dari hati manusia. Hati yang keadaannya merasa dekat dan terpaut pada kehidupan sebelum mati adalah ‘dunia’ namanya, sedangkan keadaan-keadaan hati yang terpaut pada kehidupan sesudah mati ialah ‘akhirat’ Yang disebut dunia adalah sesuatu yang membangkitkan hawa nafsu dan yang menyebabkan hawa nafsu menguasai jiwa seseorang (SAH 136).

Seraya menyebut dirinya faqr, Ayatullah Khomeini mengatakan bahwa apa yang disebut dunia bisa diartikan sebagai tingkat paling rendah dari keberadaan, tempat perubahan, peralihan dan kemusnhan. Sedangkan ‘akhirat’ ialah perjalanan kembali dari tingkat keberadaan terrendah tersebut menuju tingkat keberadaan atau alam kehidupan yang lebih tinggi. Yang pertama ialah segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Karena itu yang dimaksud zuhud ialah penolakan terhadap materialisme dan hedonisme yang membawa kepada pendangkalan akidah, dekadensi moral, dan pembusukan sosial. Yang kedua, ialah peringkat keberadaan yang lebih tinggi dan tersembunyi, yaitu kehidupan batin yang bersih dari pamrih dan nafsu keduniaan. Dengan demikian, yang dimaksud sebagai ‘dunia yang tercela’ dalam al-Qur`an dan Hadis tidak berlaku bagi dunia itu sendiri, tetapi yang dimaksud ialah ketenggelaman, kecintaan, dan keterikatan manusia kepadanya.” (SAH 137).

Penjelasan Ayatullah Khomeini dapat dirujuk pada apa yang dikatakan Fariduddin al-`Attar (w. 1220 M) sebagaimana saya terjemahkan dari esai Sayyid Murtadha Muttahari Introduction to `Irfan, sebagai berikut:

Ketika Singa Tuhan Imam Ali hadir di sebuah majlis
Seseorang melontarkan kutukan pada dunia
Haidar menjawab, “Dunia, Nak, bukan untuk dikutuk”
Celakalah kau jika mengucilkan diri dari hikmah
Dunia ini seisinya adalah hamparan ladang
Untuk didatangi siang dan malam
Segala yang memancar dari martabat dan kekayaan iman
Seluruhnya dari dunia ini
Buah hari esok adalah kembang dari benih hari ini
Orang yang ragu akan merasakan pahitnya buah penyesalan
Dunia ini adalah tempat terbaik bagimu
Di dalamnya bekal di hari kemudian dapat kausiapkan
Pergilah ke dunia, namun jangan dalam hawa nafsu tenggelam
Dan siapkan dirimu bagi dunia yang lain
Jika demikian, maka dunia itu akan pantas bagimu
Berkariblah dengan dunia, demi tujuan semua itu

Makna zuhud sebagaimana dipahami ahli tasawuf dan `irfan, jelas bukan sikap memusuhi dan membenci dunia.

Faqr Dalam Tasawuf Hamzah Fansuri
Uraian tentang faqir sebagai salah satu konsep kunci tasawuf bertalian dengan maqamat, terutama sekali gambarannya secara simbolik, dijumpai banyak sekali dalam syair-syair Hamzah Fansuri. Kata-kata faqir bahkan dijadikan penanda kesufian atau kepengarangan, sering pula ditamsilkan sebagai anak dagang atau anak jamu (orang yang bertamu). Penamsilan ini diambil dari al-Qur’ an dan Hadis, dan memiliki kontek sejarah, khususnya sejarah penyebaran Islam di kepulauan Nusantara.

Telah banyak yang mengetahui bahwa agama ini tersebar dan berkembang pesat di Asia Tenggara bersamaan dengan pesatnya kegiatan perdagangan internasional yang dilakukan pedagang Muslim Arab dan Persia sejak abad ke-13 M. Sejak itu satu persatu kerajaan-kerajaan Islam berdiri di kota-kota pelabuhan seperti Samudra Pasai (1270-1514 M), Malaka (1400-1511 M) dan Aceh Darussalam (1516-1700 M) di kepulauan Melayu. Di pulau Jawa kerajaan-kerajaan Islam juga muncul di pesisir seperti Demak, Cirebon, Gresik, Banten, Tuban, dan lain-lain. Pada mulanya kegiatan perdagangan itu hanya melibatkan pedagang Arab, Turki dan Persia. Tetapi kemudian melibatkan juga pedagang-pedagang Nusantara yang telah memeluk agama Islam. Seraya berniaga mereka menjadi pendakwah, membangun jaringan perdagangan dan persaudaraan sufi. Dengan itu lembaga pendidikan Islam dapat didirikan di pusat-pusat komunitas Islam, dan tradisi intelektual pun lantas berkembang.

Arti kata dagang dalam bahasa Melayu pada mulanya ialah merantau ke tempat lain dan menjadi orang asing di tempat tinggalnya yang baru. Kata-kata ini diterjemahkan dari kata Arab gharib (asing) dan selalu dirujuk pada Hadis, ”Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur” (”Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”). Hamzah Fansuri menulis dalam sebuah syairnya:

Hadis ini daripada Nabi al-Habib
Qawl kun fi al-dunya ka’annaka gharib
Barang siapa da’im kepada dunia qarib
Manakan dapat menjadi habib. (Ik. VIII Ms. Jak. Mal. 83)

Lawan dari orang yang dicintai Tuhan ialah mereka yang mencintai dunia. Dagang atau faqir ialah dia yang karib dengan Tuhannya dan asing serta tidak lagi terpaut pada dunia. Kata gharib, yang diterjemahkan menjadi dagang, ditafsirkan sebagai ”Orang atau diri yang asing terhadap dunia” (al-Attas 1971:8), seperti ahli suluk yang insaf bahwa di dunia ini ia adalah orang asing yang sedang merantau atau singgah sementara di negeri orang untuk mengumpulkan bekal yang kelak akan dibawa pulang ke kampung halamannya. Kampung halaman manusia yang sebenarnya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Ini dapat dirujuk pada apa yang dikatakan Imam al-Ghazali dalam Kimiya-i Sa`ada. Kata filosof sufi dari Tus, Persia itu: “Dunia ini adalah sebuah pentas aatau pasar yang disinggahi oleh para musafir dalam perjalanannya menuju ke negeri lain. Di sini mereka membekali diri dengan berbagai bekal agar supaya tujuan perjalanan tercapai” (Mohammad Bagir 1984:39). Hamzah Fansuri menulis:

Pada dunia nin jangan kau amin
Lenyap pergi seperti angin
Kuntu kanzan tempat yang batin
Di sana da’im yogya kau sakin

Lemak manis terlalu nyaman
Oleh nafsumu engkau tertawan
Sakarat al-mawt sukarnya jalan
Lenyap di sana berkawan-kawan

Hidup dalam dunia upama dagang
Datang musim kita ’kan pulang
La tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang
Mencari ma`rifat Allah jangan alang-alang

La tasta’khiruna sa`atan (Q 34:30) artinya tidak dapat ditunda waktunya. Di sini anak dagan, diberi arti lebih kurang sebagai seseorang yang benar-benar memahami bahwa hakikat kehidupan dan kebahagian yang sejati dijumpai dalam persatuan hamba dengan Tuhannya. Tanda anak dagang sejati ialah kecintaan dan penyerahannya yang penuh kepada Tuhan, ikhtiarnya yang sungguh-sungguh menegakkan kebenaran agama yang diyakininya.


Begitu pula pengertian faqir. Dalam tasawuf ia diartikan sebagai pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata ke pada Tuhan. Dua ayat al-Qur`an yang dijadikan rujukan, yaitu Q 2:268 dan Q 35-15. Dalam Q 2:268, Allah berfirman, ”Setan mengancammu dengan ketiadaan milik (al-faqr) dan menyuruhmu melakukan perbuatan keji. Tetapi Allah menjanjikan ampunan dan karunia kepadamu dari-Nya sendiri dan Allah maha luas pengetahuan-Nya.” Dalam Q 35 :15, ”Hai manusia ! Kamulah yang memerlukan (fuqara’) Allah. Sedangkan Allah, Dialah yang maha kaya lagi maha terpuji.” (Yusuf Ali 1983: 109 dan 1157-8).

Mengikuti pengertian ini Hamzah Fansuri menyatakan bahwa faqir yang sejati ialah Nabi Muhammad s.a.w. Dalam seluruh aspek kehidupannya beliau benar-benar hanya tergantung kepada Tuhan. Ini ditunjukkan pada keteguhan imannya. Kata penyair:

Rasul Allah itulah yang tiada berlawan
Meninggalkan tha`am (tamak) sungguh pun makan
`Uzlat dan tunggal di dalam kawan
Olehnya duduk waktu berjalan

Perkataan ”`Uzlat dan tunggal di dalam kawan” dapat ditafsirkan bahwa, walaupun Nabi seorang zahid dan wara`, tetapi beliau tidak meninggalkan kewajibannya sebagai pemimpin umat. Sedangkan perkataan ”Olehnya duduk waktu berjalan” dapat ditafsirkan bahwa, walaupun hatinya hanya terpaut pada Tuhan, namun beliau tetap aktif mengerjakan urusan dunia dengan penuh kesungguhan dan pengabdian. Kata ’duduk’, arti harfiahnya tidak bergerak dan tidak berjalan, yakni keyakinannya kepada Allah s.w.t sangat kuat.

Dalam syairnya yang lain, seorang faqir diumpamakan sebagai galuh-galuh atau laron yang berani terjun ke dalam nyala api. Laron adalah lambang pengurbanan diri. Pengurbanan itu dilakukan disebabkan cinta dan keyakinannya yang mendalam kepada cahaya, simbol pencerahan, hikmah dan petunjuk Tuhan. Jelas bahwa faqir adalah pribadi berani mengurbankan kepentingan diri demi cita-cita yang luhur.

Dunia nin jangan kau taruh-taruh
Supaya dekat mahbub yang jauh
Indah sekali akan galuh-galuh
Ke dalam api pergi berlabuh

Hamzah miskin hina dan karam
Bermain mata dengan Rabb al-`Alam
Selamnya sangat terlalu dalam
Seperti mayat sudah tertanam

Anak dagang juga digambarkan sebagai anak mu’alim yang tahu jalan, orang yang pengetahuan dan wawasannya luas. Hamzah Fansuri menulis:

Kenali dirimu hai anak dagang
Jadikan markab (kapal) tempat berpulang
Kemudi tinggal jangan kau goyang
Supaya dapat dekat kau pulang

Fawq al-markab (di geladak kapal) yogya kau jalis (duduk)
Sauhmu da’im baikkan habis
Rubing syari`at yogya kau labis
Supaya jangan markabmu palis

Jika hendak engkau menjeling sawang
Ingat-ingat akan ujung karang
Jabat kemudi jangan kau mamang
Supaya betul ke bandar kau datang

Anak mu`allim tahu akan jalan
Da’im berjalan di laut nyaman
Markabmu tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan

Dalam syair lain tamsil anak dagang diganti anak jamu: “Dengarkan hai anak jamu/ Unggas itu sekalian kamu/ `Ilmunya yogya kau ramu /Supaya jadi mulia adamu.” Anak jamu diumpamakan juga sebagai unggas yang tinggal dalam kandang syariat dan memliki berbagai kelengkapan ruhani:

`Ilm al-yaqin nama `ilmunya
`Ayn al-yaqin hasil tahunya
Haqq al-yaqin akan lakunya
Muhammad nabi asal gurunya

Syari`at akan tirainya
Tariqat akan bidainya
Haqiqat akan ripainya (ripinya)
Ma`rifat akan isainya (isinya)

Jelaslah bahwa yang dimaksud faqir bukanlah orang miskin dalam artian harfiah. Ibn Abu `Ishaq al-Kalabadhi dalam bukunya al-Ta`arruf li Madzzhabi ahl al-Tashawwuf )abad ke-11 M) mengutip Ibn al-Jalla yang mengatakan, ’Kefaqiran ialah bahwa tiada sesuatu pun yang menjadi milikmu, atau jika memang ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu’. Ini sejalan dengan firman Tuhan, ’Sedangkan mereka lebih mengutamakan kepentingan orang banyak, dibanding semata-mata kepentingan mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesukaran’” (Arberry 1976:118).

Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi yang mengatakan, ”Laysa al-faqr man khala min al-zad, inna-ma al-faqr man khala min al-murad, yakni ’Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah’.” Dia juga mengutip Syekh Ruwaym, ”Min na`t al-faqr hifzzhu sirrihi wa syanatu nafsihi wa ada’u fazi dhatihi’, yakni ’Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.” (Nicholson 1982:35).

Hamzah Fansuri menggambarkan bahwa faqir merupakan pribadi yang indah sebab seluruh dirinya telah fana` (hapus) dalam tujuan spiritual kehidupan yang berufuk dalam Tawhid, kesaksian bahwa Allah itu esa. Katanya:

Sidang faqir empunya kata
Tuhanmu zahir terlalu nyata
Jika sungguh engkau bermata
Lihatlah dirimu rata-rata
...
Kekasihmu zahir terlalu terang
Pada kedua `alam nyata terbentang
Ahl al-Ma`rifa terlalu menang
Washilnya da’im tiada berselang
...
Hamzah miskin orang`uryani
Seperti Isma`il jadi qurbani
Bukannya `Ajami lagi `Arabi
Nentiasa washil dengan Yang Baqi

Arti harfiah `uryan ialah telanjang, arti batinnya tulus dan ikhlas. Contoh faqir agung ialah Nabi Ismail a.s. yang bersedia dikurbankan oleh ayahnya Nabi Ibrahim a.s. karena itu yang diperintahkan oleh Tuhan. Seorang faqir menurut Hamzah adalah pribadi universal yang tidak terikat lagi pada warna kulit, ras dan kebangsaan. Apa artinya sebutan Arab, Parsi, Melayu, Jawa, atau Cina bagi seseorang yang telah wasil dengan Tuhan? Perjuangannya untuk menegakkan kebenaran juga bukan hanya untuk bangsa atau kaumnya, tetapi untuk seluruh umat manusia.

Khatimah
Sebagai penutup saya ingin mengutip Iqbal, yang oleh Ayatullah Ali Khamene`i (1989) dijuluki sebagai “filosof-penyair kebangkitan Timur”. Dia sangat prihatin terhadap umat Islam, disebabkan telah kehilangan khudi atau kepribadian. Akhlaq, spiritualitas, dan intelektualitasnya telah merosot. Cintanya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad s.a.w. telah padam. Sebagian tenggelam dalam materialisme dan egosentrisme, sebagian lagi karam dalam kepentingan-kepentingan ashabiyah sempit yang membuat umat pecah belah. Di tengah yang demikian itu sebagian besar umat dalam kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Iqbal merindukan seorang faqir sejati seperti Nabi s.a.w. sebagai penyuluh bagi umat sehingga cita-citanya terangkat dan dapat membangun kehidupan berdasarkan aspirasi dan cita-cita keruhanian dari agamanya.

Tetapi pribadi semacam apakah yang disebut faqir itu. Dia menulis dalam sajak “Faqr” (bahasa Inggrisnya dalam Dar 1977:47-8):

O hamba benda-benda dunia, apakah faqir?
Orang yang memiliki keinsyafan men dalam dan hatinya hidup

Dia menetapkan perkara secara mandiri
Dan membenteng diri dengan kata la ilaha

Faqir ialah penakluk Khaibar
Dan dalam hidupnya memakan nasi jelai.
Tetapi raja-raja dan bangsawan
Terikat pada pelana kudanya.

Faqir ialah semangat membara
Sebab asyik dan taat pada perintah Allah

Sifat semacam ini hanya dimiliki Mustafa
Dan kita semua ialah para pengikutnya

Sifat utama faqir adalah wawasan dan pengetahuannya yang luas, moralnya terpuji, hatinya senantiasa berkobar disebabkan bara cinta ilahi, hatinya wara` dan zuhud. Selain Nabi, pribadi seperti itu dijumpai dalam diri Ali bin Abi Thalib. Iqbal memberi contoh kefakiran Imam Ali tatkala beliau memimpin pasukan Islam merebut bukit Khaibar dari pendudukan kaum Yahudi. Kemenangan pasukan Islam ketika itu bukan semata disebabkan kekuatan ekonomi dan pemilikan senjata, melainkan disebabkan oleh tingginya moral dan ketangguhan spiritual Seperti ditulis dalam puisinya ”Faqir”:

Faqir adalah dia yang memutuskan perkara secara mandiri
Dan membentengi diri dengan kalimah La ilaha il-Allah
Faqir adalah penakluk Khaibar dan hidup dengan nasi jelai
Raja-raja dan sultan terikat pada pelana kudanya
Faqir adalah semangat membara, kekhusyukan dan kepatuhan kepada perintah Tuhan
Sifat ini dimiliki Mustafa, kita ini adalah pengikutnya.

Faqir melakukan serangan malam ke kediaman malaikat
Dan hatinya bersemayam di tempat yang gaib.
Ia telah mengubahmu menjadi pribadi yang lain
Semula kau kepingan kaca, kini telah digosok menjadi permata berkilauan
Seluruh peralatannya berasal dari al-Qur’an

Iqbal memberi makna yang luas kepada gagasan faqr.

Dalam gagasan ini seorang faqir adalah pribadi wara` dan zuhud. Dalam mengerjakan sesuatu tidak pernah dibebani pamrih dan kepentingan diri. Kezuhudannya juga tidak membuatnya benci kepada dunia. Faqr semacam itu bisa kita jumpai dalam pribadi-pribadi besar seperti Imam Husein, Salahudin al-Ayubi, Jalaluddin Rumi, Hamzah Fansuri, Pangeran Diponegoro dan Ayatullah Khomeini.[]

Rabu, 8 Oktober 2008


Syeikh al-Akbar Ibn ‘Arabi
(560-638 H/1165-1240 M)Sekilas Tentang Kehidupan Ibn ArabiAyah Ibn ‘Arabi, ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Arabi, pergi ke Baghdad pada usia senja. Ia mendambakan seorang anak sebagai penerusnya ketika dia wafat. Dia pergi untuk menemui Syeikh besar Muhyiddin ‘Abdul Qadir al-Jilani dan memintanya untuk berdoa kepada Allah agar memberinya seorang anak. Syeikh berkhalwat dan melakukan perenungan. Sekembalinya, dia memberitahu ‘Ali ibn Muhammad ; “Aku telah melihat alam rahasia dan telah diungkapkan kepadaku bahwa engkau tidak akan mempunyai keturunan, maka janganlah engkau letihkan dirimu dengan berusaha”.Meski kepalanya tertunduk, orang tua itu tidak akan menyerah. Dia meminta dan menegaskan : “Wahai Syeikh, Allah tentu akan mengabulkan doamu. Aku memintamu untuk memberikan syafaat kepadaku dalam masalah ini”.Syeikh Abdul Qadir al-Jilani sekali lagi menyendiri dan melakukan perenungan. Tak lama berselang dia kembali dan berkata bahwa meski Ali ibn Muhammad tidak ditakdirkan untuk memiliki seorang keturunan, sedangkan sang wali sendiri tidaklah demikian. Apakah orang tua itu ingin mempunyai benih anak sang wali?.Si tamu dengan gembira menerimanya. Kedua orang itu saling merapatkan punggung, kedua tangan mereka saling bertautan. Ali ibn Muhammad kemudian menuturkan peristiwa ini :“Ketika aku merapatkan punggungku ke punggung sang wali Abdul Qadir al-Jilani, aku merasakan sesuatu yang hangat turun dari leherku ke bagian punggungku. Tak lama setelah itu seorang anak lahir untukku, dan dia kuberi nama Muhyiddin, seperti yang diperintahkan Abdul Qadir al-Jilani”.Nama lengkap Muhyiddin ibn Arabi adalah Abu Bakr Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Hatimi al-Tha’I al-Andalusi. Dia beroleh banyak gelar : al-Syaikh al-Akbar, Guru Besar; Khatim al-Auliya’ al-Muhammadiyyah, Penutup para Wali Muhammad; al-Syaikh al-A’zham, Guru Agung; Quthb al-Arifin, Poros Para Ahli Makrifat Imam al-Munahiyuddin, pemimpin Agama Para Mualaf; Rahbah al-Alam, Pembimbing Dunia; dan masih banyak lagi. Mengenai pengetahuannya yang luar biasa, Ibn al-Jawziyah berkomentar, “Ibn Arabi sangat menguasai kimia, dan mengetahui rahasia Nama Agung Allah, yang tersembunyi di dalam Al-Qur’an”. Syeikh Sa’duddin Hamawi berkata, “Muhyiddin adalah samudera pengetahuan tak berpantai”.Muhyiddin Ibn Arabi lahir dikota Murcia propinsi Andalusia Islam, Spanyol, pada Senin 17 Ramadhan 560 H (28 juli 1165). Ayahnya adalah seorang sufi dan pribadi yang termasyhur dan terhormat. Pada masa kanak-kanaknya, di dididik dan diajarkan oleh dua wali wanita, Yasmin dari Marchena dan Fathimah dari Cordoba. Pada usia delapan tahun, Ibn Arabi dan keluarganya pindah ke Sevilla. Di sana dia belajar kepada Abu Muhammad dan Ibn Basykuwal, dua teolog dan ulama ahli hadist terbesar pada zamannya. Ketika dia berusia Sembilan belas tahun, sahabat sang ayah, filsuf dan sufi terkenal Ibn Rusyd (dikenal Barat sebagai Averroes), merasa tertarik untuk bertemu dengannya. Etrgerak oleh kekuatan besar yang dirasakannya melalui percakapan singkat dengan pemuda itu, sang ulama berbicara kepada ayahnya sesuai dengan yang diingat Ibn Arabi berikut ini :Dia bersyukur kepada Allah karena dapat bertemu dengan orang yang telah memasuki penyendirian spiritual tanpa disadarinya dan meninggalkannya seperti aku. Dia berkata : “Itulah kejadian yang kemungkinannya telah kupastikan tanpa bertemu dengan orang yang telah mengalaminya. Mahasuci Allah bahwa aku hidup pada zaman ketika ada orang yang merasakan pengalaman ini, salah seorang dari sekian banyak orang yang membuka kunci pintu-Nya. Mahasuci Allah yang telah memberiku karunia bertemu langsung dengan salah seorang dari mereka”.Karena ada rumor “apa yang telah Allah ungkapkan kepada seorang pemuda di tengah-tengah penyendirian spiritualnya” yang menarik perhatian Ibn Rusyd, kita tahu bahwa Ibn Arabi merasakan pengalamannya yang pertama, yakni pendakian mistik dalam khalwah, padahal dia berusia kurang dari dua puluh tahun. Tetapi, dia tidak menuliskan risalah ini, selama dua puluh tahun berikutnya.Pada 1201, saat berusia 36 tahun, Ibn Arabi pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Pada saat itu dia berdoa kepada Allah agar mengungkapkan kepadanya semua yang terjadi di alam materi (jasmani) dan alam spiritual (ruhani). Allah, yang mengabulkan doanya, membuka alam rahasia kepadanya. Mengenai semua ini, Ibn Arabi kemudian berkomentar : “Aku tahu nama dan silsilah Quthb yang akan dating hingga hari kiamat. Tapi karena menentang apa yang ditakdirkan merupakan malapetaka yang sesungguhnya, karena kasih saying kepada generasi mendatang, kuputuskan untuk menyembunyikan pengetahuan ini”.Setelah melaksanakan ibadah haji, Ibn Arabi pergi ke Mesir, Irak, dan damaskus, serta singgah di Konya, turki, di mana dia bertemu dengan Shadruddin Qunawi, seorang ulama sufi muda. Ibn Arabi menikah dengan ibu pemuda ini. Sadruddin muda menjadi salah seorang murid terdekatnya, yang diperkayanya dengan pengetahuan material dan spiritual yang luar biasa. Buku yang diedit di Konya oleh sang penulis tiga tahun setelah melaksanakan ibadah haji, kemungkinan pada mulanya disampaikan kepada orang suci ini.Pada tahun 1223 H, Ibn Arabi kembali ke Damaskus, tempat dia bertemu, secara fisik maupun spiritual, dengan banyak guru sufi yang lain. Di sana dia menghabiskan sisa hidupnya. Konon dia wafat pada 1240 H.Ibn Arabi menyebutkan bahwa dia bertemu Khidir, pembimbing gaib kaum sufi, sebanyak tiga kali. Pertemuannya yang pertama diceritakannya sebagai berikut :Hal itu terjadi pada awal pendidikanku. Guruku, Abu al-Hasan, menisbahkan sebagian pengetahuan kepada seseorang. Sepanjang hari itu aku terus-menerus menentangnya atas hal tersebut. Ketika aku meninggalkannya, tepatnya saat pulang ke rumahku aku bertemu dengan orang yang tampan yang mengucapkan salam kepadaku dan berkata, “Hai yang dikatakan gurumu benar adanya-terimalah”.Aku berlari kembali kepada guruku dan menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Dia bercerita kepadaku bahwa dia berdoa agar Khidir datang dan memperkuat ajarannya. Ketika mendengar hal itu, aku benar-benar memutuskan untuk tak pernah menentang lagi.Mengenai pertemuannya yang kedua dia berkata :… Aku tengah berada di pelabuhan Tunisia di atas sebuah perahu. Aku tak adapat tidur semalaman dan berjalan-jalan di geladak. Aku tengah menatap bulan purnama nan indah ketika tiba-tiba aku melihat seorang lelaki tinggi, berjenggot putih datang ke arahku, seraya berjalan di atas air di sebelah perahu. Aku heran. Dia berdiri tepat di depanku dan meletakkan kaki kanannya di atas kaki kirinya sebagai tanda memberi salam. Kulihat kakinya tidak basah. Dia menyampaikan salam kepadaku, mengucapkan beberapa patah kata, dan mulai berjalan menuju kota Menares, yang berada di sebuah bukit nun jauh di sana. Yang membuatku takjub, dia menempuh jarak satu mil dengan berjalan kaki. Dari kejauhan, aku bias mendengar suaranya yang merdu yang meyenandungkan dzikr. Keesokan harinya aku pergi ke kota itu, di mana aku bertemu dengan seorang syeikh yang bertanya kepadaku bagaimana pertemuanku dengan Khidir senja itu dan apa yang kami perbincangkan.Pertemuan ketiga Ibn Arabi dengan Khidir, menurut salah satu riwayat, terjadi di sebuah masjid kecil di pantai Atlantik, Spanyol. Di tempat itu, Ibn Arabi tengah laksanakan salat zuhur. Dia bersama seseorang yang menolak adanya mukjizat. Ada beberapa pengembara lain di masjid itu. Tiba-tiba, dia melihat di tengah-tengah mereka sosok manusia serupa yang pernah ditemuinya di Tunisia. Orang yang tinggi dan berjenggot putih itu mengambil sajadahnya dari mimbar di masjid itu, mengangkatnya empat belas kaki di udara, dan melaksanakan salatnya di sana. Kemudian dia kembali untuk menceritakan kepada ibnu Arabi bahwa dia berbuat demikian sebagai dalil bagi sahabatnya yang skeptis itu, yang menolak mukjizat.Ketika Muhyiddin Ibn Arabi berada di atas tingkatan Syeikh Abu al-Hasan al-Uryani, dia menulis sepucuk surat kepada gurunya, seraya berkata, “Hadapkanlah hatimu kepadaku dan sampaikan pertayaanmu, dan aku akan menghadapkan hatiku kepadamu serta menjawab semua pertanyaan itu”.Tak lama berselang dia menerima sepucuk surat dari sang guru, yang berkata :Aku bermimpi bahwa semua wali berkumpul di dalam majelis dengan dua orang berada di tengahnya. Salah seorang diantaranya adalah Abu al-Hasan ibn Siban. Aku tidak dapat melihat wajah yang lain. Kemudian kudengar suara yang mengatakan bahwa orang lain yang berada di tengah itu adalah seorang Andalusia, dan bahwa salah seorang dari keduanya akan menjadi quthb pada zaman kami. Sebuah ayat Al-Qur’an dibacakan dan kedua orang itu bersujud. Ada suara berkata, “Yang mengangkat kepalanya lebih dulu akan menjadi quthb”. Orang Andalusia itu mengangkat kepalanya lebih dulu. Aku bertanya kepada suara itu tanpa huruf atau kata-kata. Suara itu menjawabku dengan berembus ke arahku. Napas ini berisi jawaban atas semua pertanyaanku. Aku dan juga semua wali di dalam majelis itu mencapai ekstase karena napas ini. Kutatap wajah orang Andalusia yang berada di tengah lingkaran itu. Ternyata, itulah engkau, hai Muhyiddin Ibn Arabi.Karya-Karya Ibn ArabiPengaruh spiritual menakjubkan wali ini, di Timur dan Barat, sangatlah jelas. Dia telah mengajarkan tauhid, Keesaan, kepada manusia, dan akan terus mencerahkannya hingga hari kiamat. Ajarannya tentang keagungan Penciptaan dan pengetahuannya yang luar biasa yang dipertontonkan dalam buku-buku seperti al-Futuhat al-Makkiyah (Wahyu-wahyu Makkah), Fushush al-Hikam (Permata Hikmah), dan sebagainya, yang jumlahnya lebih dari 500 karya-menjadi saksi atas kedudukannya yang penting.Kisah Perjalanan Ibn ArabiDia mempunyai musuh sebanyak orang yang mencintainya; orang-orang fanatik laksana kelelawar yang dibutakan oleh cahaya sang wali. Sebagian orang memusuhi orang-orang yang tidak mereka kenal, tidak dapat mereka kenal, dan tidak dapat mereka pahami. Bahkan orang-orang yang menyebutnya al-Syaykh al-Akbar (Guru Besar) merupakan orang-orang yang tidak memehaminya. Sebagian mereka bahkan membencinya. Sang wali tidak hanya memaafkan orang-orang yang kurang baik ini namun bahkan menyatakan bahwa dia akan memberikan syafaat kepada mereka di hari kiamat, sebab mereka harus dikasihi karena tak mampu memahaminya. Sesungguhnya, seperti halnya pandai-emas mengetahui nilai emas, orang bijak mengetahui nilai pengetahuan dan manusia Sempurna yang sangat mengetahui memaafkan si bodoh karena kemiskinan mereka. Kasih sayang sang wali ini adalah bukti yang memadai atas kesempurnaannya.Suatu hari, salah seorang musuh Ibn Arabi jatuh sakit. Sang Syekh pergi menjenguknya. Dia mengetuk pintu dan memohon kepada istri si sakit untuk memberitahu bahwa dia ingin menjenguknya. Wanita itu menyampaikan pesannya dan, sekembalinya, menyampaikan kepada Syekh bahwa suaminya tidak ingin bertemu dengannya. Syekh tidak punya urusan di dalam rumah ini, demikian sang istri memberitahunya. Tempat yang pantas baginya adalah gereja. Syekh berterima kasih kepada wanita itu dan mengatakan bahwa karena orang baik seperti suaminya tentu tidak akan mengirimnya ketempat yang buruk, dia akan menuruti saran itu. Maka setelah berdoa bagi kesehatan dan kesejahteraan orang sakit tersebut, Syekh pun berangkat ke gereja.Ketika dia tiba, dia melepas sepatunya, masuk dengan rendah hati dan sopan. Lalu secara perlahan dan tenang berjalan ke sebuah sudut, tempat dia duduk. Pendeta tengah menyampaikan khotbah yang didengarkan Ibn Arabi dengan penuh perhatian. Di tengah-tengah khotbah, Syekh merasa si pendeta telah memfitnah Isa dengan menisbahkan kepadanya pengakuan bahwa dia adalah anak Allah. Syekh berdiri dan dengan santun menolak pernyataan ini. “Bapak pendeta yang terhormat”, demikian dia memulai, “Isa yang suci tidak mengatakan hal itu. Sebaliknya, dia meramalkan kabar gembira tentang datangnya Nabi Ahmad (Muhammad SAW)”.Pendeta itu menolak bahwa Isa telah berkata demikian. Perdebatan terus berlangsung. Akhirnya Syekh, seraya menunjuk gambar Isa di dinding gereja itu, memerintahkan sang pendeta untuk bertanya langsung kepada Isa. Dia akan menjawab dan memutuskan masalah itu sekali dan buat semua. Sang pendeta menolak dengan keras, seraya menyatakan bahwa gambar tidak dapat berbicara. Gambar ini tentu, demikian Syekh menegaskan, demi Allah yang telah membuat Isa berbicara saat masih bayi di pangkuan Perawan Suci, juga akan membuat gambarnya berbicara. Jamaah yang mengikuti perdebatan yang sengit itu tertarik oleh pernyataan ini. Sang pendeta terpaksa berpaling pada gambar Isa dan bernicara kepadanya : “Wahai anak Allah! Tunjukkan pada kami jalan yang benar. Katakan kepada kami mana diantara kami yang benar dalam pernyataan kami”. Dengan kehendak Allah, gambar itu berbicara dan menjawab : “Aku bukan anak Allah, aku adalah utusan-Nya, dan sesudahku datang nabi yang terakhir, Ahmad Yang Suci; Kuramalkan hal itu kepadamu, dan kunyatakan kembali kabar gembira ini sekarang”.Dengan keajaiban ini, semua jamaah menerima islam dan, dengan dipimpin oleh Ibn Arabi, mereka berbaris melewati jalan-jalan menuju masjid. Ketika mereka melewati rumah orang sakit itu, dia terlihat berada di dalam rumah, matanya terbelalak heran, seraya melihat ke luar jendela kea rah pemandangan ganjil ini. Sang wali berhenti, memberkati dan berterima kasih kepada pria yang telah menghinanya itu, seraya berkata bahwa dia terpuji atas keselamatan semua orang itu.Tidak banyak orang yang memehami sang wali pada masa hidupnya. Suatu hari dia mendaki gunung di Damaskus, berdakwah dan berkata : “Hai penduduk Damaskus, Tuhan yang kalian sembah ada di bawah kakiku”.Ketika mendengar kata-kata ini, orang melemparinya dengan batu, dan bersiap untuk membunuhnya. Sebenarnya, menurut salah satu tradisi, pada kejadian tersebut dia telah mati syahid. Menurut tradisi lain seorang Syekh pada zamannya, Abu al-Hasan, meredakan ucapannya dan menyelamatkannya dari kematian dengan dialog berikut :“Bagaimana penduduk bias memenjarakan seseorang”, demikian dia bertanya kepada Ibn Arabi, “Yang melaluinya alam malaikat dating ke dunia fana?”“Kata-kataku telah diucapkan, “Jawab Syekh, “Melalui racun keadaan yang engkau jelaskan”.Tetapi ucapan Ibn Arabi dan karyanya telah menimbulkan reaksi keras semacam itu pada masa hidupnya dan, setelah wafatnya, orang menghancurkan pusaranya hingga rata dengan tanah.Salah satu pernyataan yang mengandung teka-teki adalah “Idza dakhala al-sin ila al-syin/Yazhara qabru Muhyiddin”, yang berarti : “Ketika S memesuki Sy (huruf sin dan syin dalam bahasa arab), pusara Muhyiddin akan ditemukan”. Ketika sultan Utsmani IX, Salim II, menaklukan Damaskus pada 1516, dia memepelajari pernyataan ini dari seorang ulama sezaman yang bernama Zembili Ali Efendi, yang menafsirkannya : “Ketika Salim (yang namanya diawali huruf sin) memasuki kota Syam (nama Arab Damaskus, yang diawali huruf syin), dia akan menemukan pusara Ibn Arabi”. Kemudian Sultan Salim memperoleh keterangan dari para teolog kota itu mengenai tempat sang wali menyatakan “Tuhan yang kalian sembah ada di bawah kakiku”, dan tempat itu pun digali. Pertama, ditemukan perbendaharaan uang logam emas, yang mengungkapkan apa yang dimaksudkan oleh sang wali. Di sebelahnya, dia menemukan pusaranya. Dengan kekayaan yang ditemukannya, Sultan Salim mendirikan tempat ziarah dan masjid yang sangat indah di sekitar pusara itu. Ia masih ada hingga di kota Damaskus dan berada di sebuah tempat yang disebut Salihiyyah di lereng gunung Qasiyun.Muhibbuddin al-Thabari menisbahkan kisah berikut kepada ibunya :Muhyiddin Ibn Arabi tengah menyampaikan khotbah di Ka’bah tentang arti Ka’bah. Di dalam hati, aku tidak setuju terhadap ajarannya. Malam itu aku bermimpi bertemu syekh. Di dalam mimpi ini, Fakhruddin al-Razi, salah seorang teolog terbesar pada masa itu, dating melaksanakan haji dengan kemegahan dan upacara besar, dan telah bertawaf di Ka’bah. Matanya menatap seorang lelaki sederhana dalam pakaian ihramnya yang tengah duduk di sana dengan tenag. Dia berkata di dalam hati : “Betapa angkuhnya orang ini, tidak berdiri di depan tokoh besar sepertiku!”. Tak lama berselang, dia mulai berceramah di Masjid al-Haram, makkah. Seluruh penduduk kota Suci telah berkumpul untuk mendengarkan ucapan ulama besar yang merupakan penulis tafsir A-Qur’an paling penting ini. Fakhruddin al-Razi secara perlahan menaiki mimbar dan memulai ceramahnya : “Wahai kaum muslimin”-dan tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya. Seolah-olah semua isi pikirannya telah dihapus. Dia mulai berkeringat karena malu. Dia mohon maaf, seraya mengatakan bahwa dia kurang sehat, dan meninggalkan mimbar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setibanya di rumah, dia mengeluh dan berdoa, “Ya Allah, apa yang telah kulakukan sehingga Engkau menghukumku dengan aib semacam itu?” Malam itu, dalam sebuah mimpi, ditunjukkan kepadanya pria yang telah dicelanya di dalam hati karena tidak berdiri di depannya. Dialah Muhyiddin Ibn Arabi. Selam berhari-hari dia mencarinya di mana-mana. Persis ketika dia merasa putus asa untuk dapat menemukannya, pintu rumahnya diketuk orang, dan Ibn Arabi berdiri di depannya. Dia meminta maaf, dan pengetahuannya dikembalikan kepadanya.Baru-baru ini, ada kasus ulama lain, Ibrahim Haleri, imam Masjid Fatih di Istambul, orang yang sangat ortodoks yang memusuhi ajaran-ajaran keagamaan Ibn Arabi. Suatu hari dalam diskusi yang sengit dengan orang yang membela syekh, dia menghentakkan kakinya, seraya berkata, “Seandainya aku ada di sana, aku pasti akan menginjak kepalanya seperti ini!” Ketika bernuat demikian, dia menginjak sebuah paku besar. Luka itu tidak pernah sembuh hingga menyebabkan kematiannya (Masjid Fatih berlantai batu, bukan kayu).Menurut tradisi lisan, suatu hari di Damaskus Ibn Arabi melihat seorang pemuda Yahudi yang tampan. Ketika dia memperhatikannya, pemuda itu dating kepadanya dan menyebutnya “ayah”. Sejak hari itu dan seterusnya sang pemuda tak pernah meninggalkannya. Ayah pemuda itu mencari, menemukannya bersama syekh, dan ingin mengambilnya kembali. Sang pemuda tidak mengakuinya dan justru menyatakan syekhlah yang menjadi ayahnya. Si ayah dengan heran, berkata kepada syekh bahwa dia bias menghadirkan ratusan saksi untuk membuktikan bahwa pemuda itu adalah anaknya. Syekh menjawab, “Jika pemuda itu menyatakan aku adalah ayahnya, maka akulah ayahnya”. Si ayah pergi ke pengadilan mengadukan anaknya, seraya menunjukkan ratusan saksi. Ketika hakim bertanya kepada syekh apakah pemuda itu anaknya, syekh meminta agar sang pemudalah yang ditanya. Sang pemuda mengaku syekh sebagai ayahnya. Kemudian syekh bertanya kepada para saksi apakah pemuda Yahudi ini hafal Al-Qur’an. Mereka menjawab, “Bagaimana mungkin seorang pemuda Yahudi hafal Al-Qur’an?” Hakim meminta pemuda itu membaca Al-Qur’an, yang dilakukannya dengan fasih dan indah. Kemudian syekh bertanya kepada para saksi apakah pemuda itu mengetahui hadist Nabi Muhammad. Mereka menjawab, “Bagaimana mungkin seorang pemuda Yahudi mengetahui ilmu semacam itu, yang tidak menjadi pandangan hidupnya?” Hakim secara terbuka bertanya kepada pemuda itu tentang hadist Nabi. Sang pemuda menjawab setiap pertanyaan dengan tepat dan lengkap. Orang-orang Yahudi yang memahami keajaiban ini menerima Islam.Cerita berikut dimuat pada bagian akhir Futuhat al-Makkiyyah : Dalam atmosfer ortodoks mazhab hokum Islam, seorang guru tengah menjelaskan akar kata zindiq (ateis). Sebagian murid nakal bertanya apakah mungkin kata itu berasal kata zenuddin, yang artinya “wanita beragama”. Murid nakal yang lain berkata, “Zindiq adalah orang seperti Muhyiddin Ibn Arabi … bukankah demikian, Syekh?” Guru itu dengan singkat menjawab, ya.Saat itu bulan Ramadhan, bulan Puasa, dan sang guru telah mengundang murid-murid ke rumahnya untuk berbuka puasa bersama. Sambil duduk dan menunggu saat berbuka, murid-murid nakal yang sama mengusik guru mereka, dengan berkata, “Jika Anda tidak bisa menunjukkan kepada kami nama wali terbesar pada zaman kami, kami tidak akan berbuka puasa dengan makanan Anda”. Sang guru menjawab bahwa syekh terbesar di sepanjang zaman adalah Muhyiddin Ibn Arabi. Murid-murid menolak, sambil mengatakan bahwa sebelumnya di madrasah ketika mereka menyebut Ibn Arabi sebagai contoh orang zindiq, dia setuju. Kini dia malah menyatakan bahwa syekh itu adalah wali terbesar pada zaman mereka! Sang guru menjawab, seraya menyunggingkan senyum di bibirnya : “Di madrasah kita termasuk kaum ortodoks, ulama, dan ahli hukum; di sini kita termasuk para pencinta”.
Unrated
Diposting oleh Mistikus Cinta di 12:59 PM

postCount('8316994935332213509');
Comments

postCountTB('8316994935332213509');
Trackback
Link ke posting ini
Label:

Syeikh Ibnu Araby
Ibn Arabi terlahir di Mursia, Andalusia pada 28 Juli 1165 dan meninggal pada 10 November 1240 M. Para sufi menjulukinya sebagai asy-Syaikh al-Akbar (Guru Besar). Hamper semua karangannya yang bertumpuk itu berbicara tentang wacana-wacana tingkat tinggi dalam bidang tasawuf, sehingga ia sering digolongkan sebagai pemikir Muslim yang “paling sulit dipahami”.Berbagai isu intelektual yang menyurak di masa Ibn Arabi (seperti tasawuf, tafsir, hadits, fiqh, kalam (irologi), dan filsafat (dibahasnya secara sangat kaya dan mendetail. Meskipun sangat loyal kepada hadits, pemikirannya terkesan inovatif. Pelbagai karyanya telah menghadirkan khazanah perenungan yang prolific tentang semua dimensi Islam. Tidak berlebihan bila kita katakana bahwa Ibn Arabi adalah pemikir yang paling berpengaruh pada paro kedua sejarah Islam.Pemikiran dan kepribadian Ibn Arabi yang senantiasa berkilau itu memikat dan mengilhami para pemikir Muslim hingga dewasa ini. Menurut James Morris :“Mengikuti apa yang dikatakan oleh Whitehead tentang Plato, dengan kadar penekanan yang sama dapat dikatakan bahwa sejarah pemikiran Islam setelah Ibn Arabi (setidaknya sampai abad ke-18 yang menandai suatu perjumpaan yang sama sekali baru dengan Barat modern) tak lain merupakan serangkaian catatan kaki terhadap karya-karyanya.Tiga gagasan besar Ibn Arabi yang paling berpengaruh pada perkembangan tasawuf adalah wahdah al-wujud (kesatuan wujud), alam al-Khayal (dunia imajinasi), dan al-Isan al-Kamil (manusia sempurna). Ungkapan wahdah al-wujud sebenarnya tidak pernah digunakan oleh Ibn Arabi sendiri. Para pengikutnya mengadopsi ungkapan ini untuk menjelaskan pemikiran Ibn Arabi. Setiap kali menggunakan kata wujud, Ibn Arabi selalu memperhatikan asal-usul etimologisnya. Baginya, wujud tidak hanya berate “Menjelma” atau “mengada”, melainkan juga berarti “menemukan” dan “ditemukan”.Dalam konteks Ketuhanan, kata ini berarti bahwa Tuhan “Ada dan tidak pernah tidak ada”. Dan hanya Dialah yang “menemukan” diri-Nya dan segala sesuatu selain-Nya. Dengan kata lain, wujud tidak hanya bermakna keberadaan (existence), melainkan juga awareness, kesadaran, dan pengetahuan.ibn Arabi memakai kata khayal (imajinasi) untuk mengacu kepada segala sesuatu yang berada di posisi pertengahan, bukan sekedar kepada daya khayal yang melengkapi kerja nalar (reason) dalam pikiran manusia (mind). Contoh umum dari realitas khayali (imaginal) adalah pantulan cermin. Cermin maupun pantulannya tidak mengambarkan realitas yang seutuhnya. Kombinasi dari keduanya yang bias menghadirkan keutuhan realitas.Imajinasi dalam pengertian seluas-luasnya adalah alam semesta beserta segala isinya, lantaran semua itu bukan sepenuhnya ‘adam (ketiadaan) dan bukan sepenuhnya wujud (keberadaan), melainkan “sesuatu di antara keduanya”. Dalam pengertian yang lebih sempit, alam semesta tercipta dari dua keadaan : ketampakan (syahadah) dan ketersembunyian (ghaib), tubuh dan ruh; makna (sense atau ma’na) dan persepsi (hiss). Di antara semua itulah Dunia Imajinasi berada. Tidaklah ia sepenuhnya ruhani, juga tidak sepenuhnya jasmani. Tidak semuanya indrawi (perceptible), juga tidak semuanya bebas dari sifat-sifat indrawi.Di dalam diri manusia, imajinasi menrujuk kepada jiwa (nafs) yang berada di antara ruh (embusan Illahi) dan raga (lempung). Praktis semua awareness dan kesadaran terjadi di dalam imajinasi. Antara sisi ruhani dan jasmani, maknawi dan indrawi (sense perception) terjadi interaksi dalam dua pola : obyek-obyek spiritual terus menyempurna melalui instrument ragawi, sementara obyek-obyek ragawi berproses menjadi lebih spiritual.Manusia sempurna adalah raison d’atre penciptaan alam semesta (macrocosmos). Tuhan mencipta alam semesta agar manusia bias mengetahui mutlaknya kesempurnaan Illahi. Sebagai makhluk yang tercipta dari citra Illahi, manusia berpotensi untuk mengetahui dan merengkuh sifat-sifat sempurna Tuhan (kecuali yang berkaitan dengan kemutlakan-Nya). Dengan mengaktualisasi semua potensi intelektual (mengetahui) dan eksistensial (menada), manusia sempurna telah memenuhi tujuan penciptaan. Bagi Ibn Arabi, manusia berada tepat di titik tengah yang tak terhingga. Ia adalah penampakan dari Dia atau bukan Dia, dari wujud atau bukan wujud. Dia selalu berada di tahap yang tak bertahap. Meski telah banyak menulis karangan, tetapi karya yang paling banyak dikaji dan diteliti adalah Fushush al-Hikam (Permata Kebijaksanaan) dan al-Futuhat al-Makkiyyah. Lebih dari seratus buku komentar telah ditulis untuk Fushush, dan akan terus ditulis pada masa-masa yang akan dating. Pada saat yang sama, ada sejumlah tulisan yang tak kalah banyaknya yang dibuat orang untuk menyerang dan mengutuk buku ini dan pengarangnya.Al-Futuhat al-Makkiyyah berarti kumpulan futuh (pembukaan) di Mekkah. Menurut Ibn Arabi, Allah telah “membukakan” hatinya untuk dicurahi ilmu yang banyak. Kata futuh menyiratkan bahwa jenis ilmu itu datang kepada seseorang yang telah lama dan sabar menunggu di depan pintu. Pemberian ilmu jenis ini jelas tidak melibatkan paksaan dari dalam, upaya keras atau pencarian. Karena, mencari pengetahuan tertentu akan menyesatkan pelaku suluk dari pencarian akan Tuhan. Ibn Arabi menuturkan :“Ketika aku terus-menerus mengetuk pintu Allah, aku menunggu dengan penuh waspada, tidak terganngu, hingga kemudian tampaklah oleh pandanganku kebesaran Wajah-Nya dan sebuah panggilan untukku, tidak lebih dari itu”.Namun demikian, harus diingat bahwa tidak semua masukan (warid) bisa disebut futuh (pembukaan). Para sufi membedakan empat kategori lintasan pikiran (khawatir) : Ilahi, ruhani, ego-sentris (nafsani) dan syaithani. Menurut William Chittick.“Dari perspektif Sufi, salah satu tanda penyimpangan paling jelas dari ‘spiritualitas’ kontemporer – terutama dari ragam ‘New Age’ – ialah ketakmampuannya memilah-milah sumber masukan. Pengetahuan yang dicurahkan kepada pencari Allah adalah pengetahuan mengenai Al-Qur’an dan Kalam Ilahi. Ibn Arabi menyatakan :“Tiada yang dibukakan bagi wali Allah selain pemahaman tentang Kitab yang Agung”.
Unrated
Diposting oleh Mistikus Cinta di 12:21 PM

postCount('6211671251122155192');
Comments

postCountTB('6211671251122155192');
Trackback
Link ke posting ini
Label:
Sep 9, 2007

Syeikh Ibnu Araby
Ibnu 'Araby dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali. Lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Juli 1165 M, di Kota Marsia, ibukota Andalusia Timur (kini Spanyol), Ibnu 'Araby bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Ia juga mendapat gelar sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.
Tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sikap demikian kelak ditanamkan kuat pada anak-anaknya, tak terkecuali Ibnu 'Araby. Sementara ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia.
Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme 'Araby kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan kepribadian Ibnu 'Araby. Kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sastra. Karena itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.
Meski Ibnu 'Araby belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira'ahnya, serta kepada Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun'im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis madzhab Imam Malik dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiry, Ibnu 'Araby sama sekali tidak bertaklid kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid.
Ibnu 'Araby membangun metodologi orisinal dalam menafsirkan Alquran dan Sunnah yang berbeda dengan metode yang ditempuh para pendahulunya. Hampir seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran teosofik yang sangat cemerlang. "Kami menempuh metode pemahaman kalimat-kalimat yang ada itu dengan hati kosong dari kontemplasi pemikiran.
Kami bermunajat dan dialog dengan Allah di atas hamparan adab, muraqabah, hudhur dan bersedia diri untuk menerima apa yang datang dari-Nya, sehingga Al-Haq benar-benar melimpahkan ajaran bagi kami untuk membuka tirai dan hakikat... dan semoga Allah memberikan pengetahuan kepada kalian semua..." ujar Ibnu 'Araby suatu kali.
Jalan tengah
Pada perjalanan intelektualismenya, Ibnu 'Araby akhirnya menempuh jalan halaqah sufi (tarekat) dari beberapa syeikhnya. Setidaknya, ini terlihat dari apa yang ia tulis dalam salah satu karya monumentalnya Al-Futuhatul Makkiyah, yang sarat dengan permasalahan sufisme dari beberapa syeikh yang memiliki disiplin spiritual beragam. Pilihan ini juga yang membuat ia tak menyukai kehidupan duniawi, sebaliknya lebih memusatkan pada perhatian ukhrawi.
Untuk kepentingan ini, ia tak jarang melanglang buana demi menuntut ilmu. Ia menemui para tokoh arif dan jujur untuk bertukar dan menimba ilmu dari ulama tersebut. Tidak mengherankan bila dalam usia yang sangat muda, 20 tahun, Ibnu 'Araby telah menjadi sufi terkenal.
Menurutnya, tarekat sufi dibangun di atas empat cabang, yakni: Bawa'its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa'i (pilar pendorong ruhani jiwa); Akhlaq, dan Hakikat-hakikat. Sementara komponen pendorongnya ada tiga hak. Pertama, hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak dimusyriki sedikitpun. Kedua, hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka. Ketiga, hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (tarekat) yang di dalamnya kebahagiaan dan keselamatannya.
Pada hak Allah (hak pertama), dapat dilacak secara sempurna pada seluruh karya Ibnu 'Araby. Di sini, tauhid dijadikan sebagai konsumsi, iman sebagai cahaya hati, dan Alquran sebagai akhlaknya. Lalu naik ke tahap yang tak ada lagi selain al-Haq, yakni Allah SWT. Karakter Ibnu 'Araby senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur. Kuncinya senantiasa bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi al-Haq.
Sementara rahasia batinnya bermukim menyertai-Nya, tak ada yang lain yang menyibukkan dirinya kecuali Tuhannya. Ibnu 'Araby menggunakan kendaraan mahabbah (kecintaan), bermadzhab ma'rifah, dan ber-wushul tauhid. Ubudiyah dan iman satu-satunya dalam pandangan 'Araby hanyalah kepada Allah Yang Esa dan Mahakuasa, Yang Suci dari pertemanan dan peranakan.
Sementara hak sesama makhluk, ia mengambil jalan taubat dan mujahadah jiwa, serta lari kepada-Nya. Ia gelisah ketika kosong atas tindakan kebajikan yang diberikan Allah, sebagai jalan mahabbah dan mencari ridha-Nya. Hak ini bersumber pada ungkapan ruhani dimana semesta alam yang ada di hadapannya merupakan penampilan al-Haq. Seluruh semesta bertasbih pada Sang Khaliq, dan menyaksikan kebesaran-Nya. Hak terhadap diri sendiri adalah menempuh kewajiban agar sampai pada tingkah laku ruhani dengan cara berakhlak yang dilandaskan pada sifat-sifat al-Haq, dan upaya penyucian dalam taman Zat-Nya.
Kontroversial
Meski demikian, tak sedikit yang menilai pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu 'Araby, terutama kaum fuqaha' dan ahli hadis, sebagai sangat kontroversial. Sebut saja, misalnya, teorinya tentang Wahdatul Wujud yang dianggap condong pada pantheisme. Salah satu sebabnya adalah lantaran dalam karya-karyanya itu Ibnu 'Araby banyak menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan awam. Karenanya, tidak sedikit yang mengganggap 'Araby telah kufur, misalnya Ibnu Taimiyah, dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebaga 'kafir'.
Memang pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu 'Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Araby. "Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Araby yang tidak memahami makna sebenarnya," komentar Ibnu Taimiyah.
Menurut penelitian para ulama dan orientalis, Ibnu Araby mempunyai sedikitnya 560 kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan dan umum. Malah ada yang mengatakan, termasuk risalah-risalah kecilnya, mencapai 2.000 judul. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir al-Kabir yang terdiri 90 jilid, dan ensiklopedi tentang penafsiran sufistik, yang paling masyhur, yakni Futuhatul Makkiyah (8 jilid), serta Futuhatul Madaniyah. Sementara karya yang tergolong paling sulit dan penuh metafora adalah Fushushul Hikam. Dalam lentera karya dan pemikirannya itulah, ia begitu kuat mewarnai dunia intelektualisme Islam universal.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Araby"Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Ahad, 5 Oktober 2008

http://www.islamhouse.com/pg/10523/quran/1
Jalan Cinta Para Sufi
Abah Anom Suryalaya (1)
Abu Ahmad as-Sughuri q.s (2)
Abu Yazid Al Bustami (1)
Abul Hasan Al Syazili (1)
Ad Diba`i (1)
Ahmad al Rifa’i (1)
Al Asy’ari (1)
Al Baihaqi (1)
Al Daruquthni (1)
Al Hallaj (1)
Al Imam An-Nibras Umar bin Abdurrahman Al-Attas (1)
Al Mahalli (1)
Al-Bushiri dan Kasidah Burdah (1)
Al-Habib Abdullah bin Muchsin Al-Aththas (1)
Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi (2)
Al-Mawardi (1)
Ala'uddin al-Bukhari al-'Aththar qs (1)
Ali Zainal Abidin (1)
As Suyuthi (1)
Dewi Khadijah (1)
Fariduddin al Attar (1)
Habib Ali bin Abubakar bin Umar al-Hamid (1)
Habib Ali Zainal Abidin Al-Idrus (1)
Habib Syaikh Mawlaya Yusuf al-Baghdadi al-Maghribi (1)
Habib Zain bin Abdullah Al Aidrus (1)
Hafshoh binti Umar r.a. (1)
Ibn Khaldun (1)
Ibn Taimiyah (1)
Ibnu Athaillah Askandari (1)
Ibnu Hajar Al Haitami (1)
Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (1)
Imam Abu Dawud (1)
Imam Al Ghazali (1)
Imam Bukhori (1)
Imam Ibn Majah (1)
Imam Muslim (1)
Imam Nasa'i (1)
Imam Nawawi (1)
Imam Tirmizi (1)
Jalaludin Rumi (3)
Khadijah Binti Khuwailid radhiall'anha (1)
Maulana Malik Ibrahim (1)
Maulana Shaykh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani (2)
Maulana Syeikh Muhammad Hisyam Kabbani ar-Rabbani qs (1)
Muhammad Ibnu Abbad (1)
Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma’il Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi (1)
Muhammad Khalil Al Maduri (1)
Muhammad Yusuf Tajul Khalwati (1)
Mulla Shadra (1)
Nabi Khidir as. (1)
Nabi Muhammad SAW (1)
Rabi'ah Al Adawiyah (4)
Raden Amangkurat (1)
Rantai Emas Masyaikh Naqshbandi Haqqani (6)
Saudah Binti Zam'ah r.a (1)
Sayid Utsman (1)
Sayyid Abdullah Al Haddad (1)
Sayyid Amir al-Kulal (1)
Sayyid Ja’far Al Barzanji - Mufti Madinah (1)
Sayyid Muhammad ibn Alawi Al Maliki (1)
Shafiyah Binti Huyai Radhiallaahu 'Anha (1)
Sholahuddin Al Ayyubi (1)
Suhrawardi Al Maqtul (1)
Sunan Ampel (1)
Sunan Bonang (1)
Sunan Drajat (1)
Sunan Giri (1)
Sunan Gunung Jati (1)
Sunan Kalijaga (1)
Sunan Kudus (1)
Sunan Muria (1)
Syah Waliullah (1)
Syaih Abdul Qadir Muhammad (1)
Syaikh Ismail ash-Shirwani (1)
Syaikh Khalid al-Baghdadi (1)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (1)
Syaikh Sulaiman Ar Rasuli (1)
Syaikh Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi (1)
Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani (2)
Syeikh Abdurrauf As-Sinkili (1)
Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (1)
Syeikh Ahmad Zaini Dahlan (1)
Syeikh Ibnu Araby (3)
Syeikh Moh. Sa’ad Mungka (1)
Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjar (1)
Syeikh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy (1)
Syeikh Siti Jenar (2)
Wali 7 (8)
Wali 9 (10)
Yusuf Al Qardhawi (1)
‘Uways al-Qarani (1)

Abu Anis
Abu Syafiq
Abulehyah
Al-'Ashairah
Albazrah
Alfansuri
Alqasam
Anakalam
Annaqshy
Bank Wahabi
Champ
drmatgig
Forgotten Lessons
Gerbang Perdana
Habib al-Joofre
KorbanDemokrasi
Malakian
Mardiah
Mugharrib
MuhibMahbub
Pondok Tampin
Salafy Indonesia
Ustaz Mahfuz
Ustaz Zamihan
Yayasan Sofa
AL-HAWI
ASYRAAF
PONDOK HABIB
MAJELIS RASULULLAH
BAHRUS SHOFA
PROTAJDID
BICARA SUFI
MALAKIAN
AL FANSHURI
MUKHLIS
PONDOK TAMPIN
AL BAZRAH
ROUDHAH
_gos='c4.gostats.com';_goa=307757;_got=4;_goi=1;_goz=1;_gol='web analysis';_GoStatsTrack();_GoStatsRun();
_go_js="1.0";
_go_js="1.1";
_go_js="1.2";
_go_js="1.3";
_go_js="1.4";
_go_js="1.5";
_go_js="1.6";
_go_js="1.7";
_go_js="1.8";
_go_js="1.9";
web analysis
http://mukhlis101.multiply.com/

Khamis, 2 Oktober 2008

ZAINAB AL KUBRA R.A. ,

Seorang wanita cucu Rasulullah SAW, yang begitu tabah dan tetap tegar menghadapi ujian dan cobaan, demi kemuliaan keturunan Rasulullah SAW.

Menulis tentang Sitti Fatimah Azzahra dengan meninggalkan begitu saja kedua puterinya, rasanya memang kurang adil. Apalagi kalau yang dibicarakan itu menyangkut puterinya yang bernanna Zainab Al-Kubra. Ia tercatat dalam sejarah Islam sebagai wanita yang tabah dan gagah berani

Seperti diketahui, di samping kedua puteranya yang termasyhur itu, dalam perkawinannya dengan Imam Ali r.a., Sitti Fatimah Azzahra juga diberkahi oleh Allah s.w.t. dengan dua orang puteri. Mereka itu adalah Zainab Al-Kubra dan Zainab Ash-Sugra. Bersama dengan Al-Hasan dan Al-Husain r.a., kedua wanita itu sudah sejak masa anak-anak ditinggalkan untuk selamalamanya oleh ibundanya. Dalam usia yang masih muda sekali ini, sesaat sebelum wafat Sitti Fatimah r.a. telah berpesan khusus kepada Zainab Al-Kubra agar ia menjaga baik-baik kedua saudara lelakinya itu.

Memang, beban yang terberat bagi Sitti Fatimah Azzahra sebelum meninggal dunia rupanya adalah keempat anaknya yang masih kecil-kecil itu. Dikisahkan bahwa sesaat sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir Sitti Fatimah r.a. tak dapat menahan kepedihan hatinya. Ia harus memenuhi panggilan Ilahi pada usia yang begitu muda, 28 tahun. Sedangkan anak-anaknya belum satu pun yang mencapai usia sepuluh tahun.

Sesudah itu pada usia masih remaja, bahkan masih anak-anak, Zainab Al-Kubra sudah diserahi tanggung jawab untuk menjaga adik-adik dan merawat kakak-kakaknya. Tidak banyak yang bisa diungkapkan mengenai peran masa anak-anak yang dilakukan oleh kedua puteri Sitti Fatimah Azzahra itu.

Riwayat-riwayat hanya mengungkapkan kehidupan dan perkembangan Al Hasan dan Al Husain r.a. Hal ini tidak perlu diherankan, karena dunia kehidupan Arab yang keras jarang sekali mengedepankan peran seorang wanita. Jadi walaupun Zainab Al-Kubra dan Zainab Ash Sugra termasuk dalam lingkungan keluarga sangat mulia nama mereka jarang sekali ditonjolkan.

Baru beberapa tahun kemudian setelah Zainab Al Kubra meningkat remaja, maka peranannya diungkapkan oleh para periwayat. Sejarah akhirnya mencatat namanya dan mengakui peran penting yang dijalankan oleh Zainab Al Kubra dalam melindungi kesinambungan generasi penerus keluarga RASUL Allah s a w. Bagaimana pun juga, walau Zainab Al Kubra seorang wanita, tetapi ada darah kemuliaan dan kesucian yang mengalir dalam tubuhnya.

Sejak masa anak-anak ia telah turut memikul tanggung jawab kehidupan rumahtangga Imam Ali r.a. yang ditinggal wafat oleh Sitti Fatimah Azzahra. Zainab Al Kubra dengan tekun dan tabah melaksanakan amanat yang ditinggalkan oleh bundanya sesaat sebelum wafat. Dengan penuh tanggung jawab dirawatnya adik-adik dan kedua kakaknya itu. Boleh dikatakan ia tak pernah berpisah jauh dari kedua saudara lelakinya itu.

Tidak ada pengungkapan mengenai kelanjutan kehidupan Zainab Ash-Sugra. Sedangkan tentang Zainab Al Kubra justru makin menonjol setelah Al-Husain r.a. gugur di Karbala. Wanita inilah pada usia sudah lebih setengah abad tanpa mengebal gentar sedikit pun sedia mati untuk menyelamatkan keturunan langsung Rasul Allah s a.w. Ia menjadi saksi hidup tentang siksaan yang dialami oleh saudara lelakinya itu sampai Al-Husain r.a. meninggal dengan gagah berani.

Ahad, 31 Ogos 2008

IBN ARABI TOKOH KONTROVERSIAL

Menarik sekali membahas tokoh yang satu ini, yang sejak dahulu selalu menuai kontroversi. Tulisan ini hanya merangkum dari berbagai nara sumber, hanya untuk mengetahui siapakah sebenarnya tokoh yang satu ini, yang sering mendapat tuduhan murtad, dan penganut agama lainnya.
Ibn Arabi nama lengkapnya Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Arabi Al Thai Al Hatimi adalah seorang tokoh sufi filsuf kontroversial dari Andalusia, lahir 560 H/1165 M - 638H/1240M. Karya-karyanya dikenal memadukan antara syariat, rasio dan intuisi (dzauq). Diantaranya Futuhat Al Makiyyah (Penyingkapan Mekah), buku yang berisi 560 bab, berisi ajaran dari banyak topik, Fushus Al Hikam (Permata Kebijaksanaan) berisi tentang sabda kenabian keragaman kesempurnaan yang mewujud pada masing-masing 27 nabi besar, Al Tadbirat al Illahiyah Fi Ishlah al Mamlakah al Insaniyah (Menata diri Dengan Tadbir Ilahi), Kunh Mala Budda Al Murid (Selamat Sampai Tujuan), Risalah al Anwar fi ma Yumnah Shahib Al Kalwah Min Al Asrar (Risalah Kemesraan, berisi panduan menjalani khalwat), Ruh al Quds (Jiwa Yang Suci), Al Durrat al Fakhrah (Butiran Permata Keagungan).
Ibn Arabi dipandang sebagai tokoh terbesar muslim dalam menyusun doktrin-doktrin metafisis, sehingga disebut sebagai Syeikhul Akbar yang artinya Syekh Yang Agung. Ada juga yang menyebutnya sebagai Belerang Merah (al Kabrit Al Ahmar) sebuah term kimiawi yang mengandung pengertian bahwa Ibn Arabi mampu mencipta suatu pengetahuan terlepas dari ketidak tahuannya sebagai belerang yang mampu membentuk kuning emas dari sebuah timah.
Tuduhan Murtad
Banyak kaum salafi yang menuduh bahwa dirinya adalah murtad dan pengikut Nasrani, apakah benar demikian? Lalu, kenapa sampai bisa dtuduh sedemikian rupa, adakah alasannya?
Tulisan Ibn Arabi banyak yang mengandung pengertian ganda, dan berapa corak kemusyrikan telah ditemukan didalam pemikirannya yang melahirkan bentuk keyakinan yang berlebihan. Karenanya, ia sering dituduh sebagai orang pantheisme. Hanya saja disini ada keanehan, andai kata saja ada kesalahan dalam pemikirannya Ibn Arabi, tetapi para pengikutnya mempertahankan dan tetap mempraktekannya, bahkan menolak untuk kompromi.
Tuduhan bahwa dia adalah penganut Nasrani karena konsep kesatuan hakikat agama. Menurutnya hakikat agama adalah sama atau satu, hanya saja bentuk luarannya yang berbeda-beda. Ia menjelaskan panjang lebar tentang hal itu, yang mana pada posisi tersebut ia memiliki sifat-sifat sebagaimana yang dimiliki Yesus.
Didalam syairnya pada kitab Tarjuman Al Asywaq, Ibn Arabi mengungkapkan sebagai berikut :
Hatiku terbuka untuk segala macam bentuk;
Ia bagaikan padang rumput untuk kawanan rusa, dan bagaikan biara bagi pendeta-pendeta Kristen, Bagaikan candi untuk sebuah berhala, dan sebagai Ka’bah untuk menjalankan perjalanan haji, Bagaikan lembaran Taurat dan sekaligus kitab suci Al Quran.

Milikku adalah agama cinta, kemanapun kabilah Allah bergerak, agama cinta akan tetap menjadi agama dan keyakinanku. Rasanya, syair di atas lah yang dijadikan rekomendasi oleh kalangan para Salafi, untuk menuduh bahwa Ibn Arabi adalah Nasrani. Lalu, bagaimana dan alasan apa sampai dituduh bahwa Ibn Arabi itu SESAT dan Menyesatkan, terutama dengan konsep Kesatuan wujudnya (wahdatul wujud)?
Ibn Arabi merumuskan tentang konsep kesatuan wujud atau non dualitas, yang merupakan konsep Islam tentang Advaita Vedanta dan semakna dengang konsep Tao.
Konsep itu menyatakan bahwa tidak ada satupun eksistensi yang terwujud melainkan hanya Allah.

Ajaran Ibn Arabi tentang wahdatul wujud ini meluas, dan menjadikan ajaran wahdatul wujud ini sebagai ajaran metafisika sufisme, pada masanya ajaran ini menyebar di merata dunia.
Setelah Ibn Arabi memunculkan konsep Wahdatul Wujud, kemudian diikuti oleh beberapa sufi lainnya yang terlibat dalam meng-estafetkan ajaran ini, sehingga seolah-olah Ibn Arabi ini menjadikan penghubung antara tradisi Sufi Spanyol-Maroko dengan tradisi sufi timur Mesir-Siria melalui muridnya Shadr Al Din Al Qunawi (1210). Di Persia atau Iran ajaran Ibn Arabi ditebarkan melalui Qutb Al Din Asy-Syaerazi, sehingga mempengaruhi tasawuf Persia secara umum. Ajaran sufi ini dilanjutkan oleh Abdul Karim Al Jilli, seorang pemimpin tharekat Al Syadzili, dan oleh Jalaluddin Rumi. Nah, pada jaman kemajuan pemikiran intelektualitas Islam ini, ajaran ini merebak sampai Aceh Indonesia, nama Ibn Arabi dengan muridnya Ibn Athaillah cukup dikenali dengan baik.
Menurut saya, ajaran Ibn Arabi ini ke Indonesia merebak melalui Tharekat Al Sadziliyah, yang mana Tharekat ini didirikan oleh Imam Syadzili, dan dilanjutkan oleh Ibn Athaillah(W.1309), putranya. Ibn Athaillah ini semula seorang fuqoha pengikut mazhab Malikiyah, dia seorang pengajar di Al Azhar Kairo, dan perguruan Al Manshuriyah tetapi waaupu dia putra seorang sufi tapi justru fikirannya berlawanan, bahkan memerangi tasawuf, terutama ditujukan kepada sufi Abu Abbas Al Mursi (w. 1288), tetapi pada tahun 1276 M, Ibn Athaillah mendatangi Al Mursi, dan menyatakan dirinya menjadi murid tharekat Al Shadziliyyah, bahkan Ibn Athaillah menulis sebuah karya besar dalam bidang Tashawuf, yakni Kitab Al Hikam yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf.
Jadi benar, semula Ibn Athaillah melawan ajaran tasawuf tetapi selanjutnya dia justru berbalik, bahkan menjadi pecinta tasawuf dan mengembangkannya melalui berbagai karya tulisnya.

Kesimpulan :

Tuduhan para fuqoha (ahli fiqih), kaum salafi yang memegang teguh ajaran ajaran nabi hanya Al Quran dan al Hadits, dan kalangan Wahabi yang tidak mengakui keabsahan otoritas pandangan dan praktek setelah tabiin dan menganggapnya inovasi (bid’ah) yang tidak mendasar secara teoretis, walaupun dalam praktis tidak demikian, yang menjelaskan bahwa ajaran Ibn Arabi adalah sesat dan menyesatkan, tetap tidak terpecahkan, dalam arti kata masing masing memiliki ajarannya. Kalau boleh dimisalkan, itu seperti minyak dan air dalam satu wadah, walaupun tidak akan bersatu tetapi sebenarnya satu dan saling melengkapi, bisa jadi tasawuf dengan keaneka ragamananya adalah kekayaan Islam di ranah spiritual.
Adapun tentang wahdatul wujud, adalah merupakan ekpressi sufistik yang bisa dijangkau atau dipahami secara transendental yang umumnya tidak sembarangan dipaparkan di kalangan awam, biasanya pengajaran ini melalui suatu tharekat yang mengajarkan tahap demi tahap (maqamat) sampai memahami dan merasakan (dzauq). Untuk memahami ilmu hakikat,
biasanya di awali dari Syariat, Tharikat, Hakikat sampai memahami akan makrifat (gnostik).
Tataran wahdatul wujud ini sudah masuk ke pemahaman makrifat, yang mana sudah tidak lagi menggunakan nalar atau akal fikiran, tetapi melalui peningkatan kesadaran. Kalau di ibaratkan, nalar adalah bumi, sementara makrifat adalah langit, tentunya membahas suatu langit kita harus berimijinasi dan berempathi tentang langit terlebih dulu, tidak semerta-merta menolak karena langit bukanlah bumi, atau mudah memurtadkan orang karena itu adalah kepicikan diri yang tak mampu mencerap, karena hakikat kebenaran adalah milik Yang Haq, dan yang memiliki hak prerogatif itu adalah Sang Haq itu sendiri.

Tetapi memahami Wahdatul Wujud ini memang sulit karena akan menjerumuskan di kalangan awam, banyak martir yang digantung oleh karenanya, tengoklah Al Hallaj di Baghdad atau Syekh Siti Jenar dengan konsep Manunggaling Kawula Gustinya di Nusantara ini.

Tarekat Qodiriyah

Sekilas Tarekat Qodiriyah
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira' di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan.
Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, 'Urabiyyah, Yafi'iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla'iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka'iyah, Bu' Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut "Syurafa Jilala".
Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir "Laa ilaha Illa Allah" dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat "Laa Ilaha Illa Allah" kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak.
Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu'tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya' sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu'ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A'uf dan sebagainya.
Bai'at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan "infahna binafhihi minka" dan dilanjutkan dengan ayat mubaya'ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti "jalan" sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16," Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah".
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat "rahasia" yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai'at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya.

IBN ‘ARABI: KEHIDUPAN, KARYA, DAN PENGARUHNYA

DI KALANGAN para sufi ada tradisi membaca manaqib. Tradisi ini sebenarnya sangat berpengaruh dalam perjalanan dan perkembangan spiritual para murid dan salik. Manaqib adalah semacam biografi yang menceritakan tentang jalan hidup seorang guru. Tetapi ia bukan sekadar biografi yang hanya mencatat tentang tempat lahir, tanggal lahir, dan hal-hal yang berelasi dengan guru secara historis. Lebih dari itu, sesungguhnya manaqib adalah catatan kehidupan spiritual seorang guru, yang bisa mempengaruhi murid dalam menghidupkan orientasi spiritual di dalam diri mereka dan meningkatkan aspirasi mereka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan membaca manaqib, misalnya, adalah memberi kesadaran kepada para murid bahwa bertemu dengan Allah (liqa’ Allah) adalah satu kenyataan dan semua manusia bisa bertemu dengan Yang Mahatunggal.

Bagaimanapun, ketika penulis membicarakan biografi Ibn ’Arabi di sini, tentu sekali tujuannya bukanlah sekadar untuk menambah informasi tentang beliau. Akan tetapi, biografinya harus mewujudkan satu relasi antara manusia dengan beliau. Biografinya harus menjadi sumber inspirasi kehidupan spiritual seluruh manusia. Apabila manusia ingin mengenal Ibn ‘Arabi hanya melalui aspek biografisnya, penulis merasa kita tidak akan memahami pribadi yang misterius ini sebagaimana yang seharusnya. Lebih jauh, kita juga tidak akan mendapat pencerahan spiritual. Ibn ‘Arabi harus dikenali, terutama, melalui biografi spiritualnya.

2.1. Latar Kehidupan

Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai,1 sufi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki "Syaikh al-Akbar" (Sang Mahaguru) dan "Muhyiddin" ("Sang Penghidup Agama"). Kendati tidak mendirikan tarekat populer—atau agama massa menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi intelektual maupun filosofis (Chittick, dalam Nasr (ed.), 2003: 64)

Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla.2 Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah satu adik istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi (Addas, 2004: 43-4)

Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590, Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi (606-673/1210-1274).

Dalam perjalanan menyertai kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn ‘Arabi bermukim sementara waktu di Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn al-Jami’, seseorang yang memperoleh kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr. Selama beberapa tahun Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim ke Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I (607-616/1210-19) dari Konya dalam misi yuridis kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir (582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.

Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya yang ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan, terutama, hadis (Chittick dalam Nasr, 66)

Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.

2.1.1. Kehidupan Ibn ‘Arabi: Spiritualitas dalam Totalitas

Hal yang perlu segera disadari bahwa dalam membincangkan biografi seorang sufi, yang paling utama dan semestinya ditekankan adalah biografi spiritualnya bukan sisi historisnya. Ini penting mengingat karena dari biografi spiritual itulah manusia bisa mendapatkan pencerahan spiritual. Dari sini, ia bisa membangun relasi antara dirinya dengan Tuhan. Dalam hal ini, Seyyed Hossein Nasr pernah menulis:

Like other great saints and sages, his greatest "masterpiece" was his own life, a most unusual life in which prayer, invocation, contemplation, and visits to various Sufi saints were combined with the theophanic vision of the spiritual world in which the invisible hierarchy was revealed to him. In studying his life, therefore, we gain a glimpse of the spiritual character and stature of the sage whose intellectual activity is visible in his many metaphysical works."
Kata Hossein Nasr, "…His greatest ‘masterpiece’ was his own life", kehidupan Ibn ‘Arabi sendiri adalah sebuah adikarya (masterpiece)nya, suatu kehidupan yang penuh dengan ibadah, zikir, kontemplasi, dan ziarah serta pertemuan dengan para Sufi. Semuanya ini tergabung dengan musyahadah atau penyaksian tajalli-nya pada alam spiritual. Dalam penyaksian tersebut, seluruh hierarki alam gaib telah tersingkapkan kepadanya.

Nama Ibn ‘Arabi sudah menjadi hampir sinonim dengan doktrin wahdat al-wujud. Benar bahwa doktrin ini mempunyai peran sentral dalam metafisis Ibn ‘Arabi, tetapi agaknya pesan beliau bukan sekadar doktrin tersebut. Seluruh kehidupan Syaikh al-Akbar dan doktrin ajarannya ingin menyatakan bahwa esoterisme adalah Prinsip dan juga Jalan. Dengan kata lain, Prinsip Kebenaran (the Principle of the Truth) dan juga Jalan kepada Kebenaran (the Way to the Truth) adalah esoterisme. Satu-satunya tujuan Ibn ‘Arabi adalah untuk mengenal—dan malah untuk merealisasikan—Realitas.

Semasa remajanya, seperti remaja-remaja lain, ia juga punya waktu untuk bersenang-senang selain dari waktu belajarnya. Pada satu masa ketika ia lagi bersenang-senang di Sevilla, dia telah mendengar suara yang memanggilnya beliau, "Hai Muhamad, bukan untuk ini kamu diciptakan." Ia menjadi gelisah dan penasaran dengan pengalaman ini. Dalam kegelisahan itu, ia melarikan diri dan menyendiri untuk beberapa hari di sebuah tempat pekuburan. Di situlah Ibn ‘Arabi mengalami tiga musyahadah yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan spiritual masa depannya. Dia telah bertemu Nabi Isa, Musa, dan Muhammad—yang telah memberi instruksi spiritual untuknya.

Pertemuan spiritual ini bisa dikatakan adalah titik permulaan perjalanan spiritual Ibn ‘Arabi muda. Sejak itu, ia mendapat banyak pengalaman spiritual seperti ini. Malah sepanjang hidupnya penuh dengan pengalaman mukasyafah dan musyahadah. Kehidupan Ibn ‘Arabi adalah satu kehidupan spiritual dan biografinya identik dengan spiritual dan mistis. Bahkan pertemuannya dengan para guru sufi di dalam sepanjang pengembaraan, kesemuanya adalah pertemuan yang terpusat pada spiritualitas.

Pertemuan spiritualnya dengan tiga nabi besar yang mewakili tradisi Ibrahimiyah, mempunyai arti implisit yang sangat fundamental dalam doktrin ‘irfan Ibn ‘Arabi. Tradisi Ibrahimiyah terpusat pada doktrin tauhid. Tauhid dalam perspektif Ibn ‘Arabi tidak lain dan tidak bukan adalah wahdat al-wujud. Doktrin ini adalah prinsip esoterisme dan mengejawantahkan doktrin tersebut adalah jalan esoterisme.

Doktrin ini akan menjadi "akar segala sesuatu" ("the root of all things"). Dan, secara lebih spesifik lagi ia akan mejadi akar metafisikanya. Ketika al-wujud adalah "the one and only Real", yang lain semuanya akan menjadi relatif atau manifestasi bagi-Nya. Dan sebagai manifestasi, setiap detik seluruh ma siwa Allâh adalah "Dia dan tidak Dia". Ini adalah apa yang Schuon sering istilahkan sebagai paradoks spiritual ("the spiritual paradox").

Paradoks inilah yang telah diceritakan begitu indah sekali dalam pertemuan bersejarah antara Ibn ‘Arabi dengan hakim Sevilla, seorang faqih dan filosof yang terkenal yaitu Ibn Rusyd. Hampir semua yang menulis biografi Ibn ‘Arabi akan mengungkapkan pertemuan yang bersejarah ini.

Aku pernah menginap sehari di Kordoba, di rumah Abu al-Walid Ibn Rusyd. Dia telah menyatakan keinginannya untuk bertemu denganku, karena dia pernah dengar beberapa ilham yang aku dapatkan semasa berkhalwah. Dan dia merasa sangat tertarik berkenaan ilham itu. Akhirnya ayahku, salah seorang teman dekatnya, telah membawaku kepadanya dengan alasan ada urusan dagang, agar Ibn Rusyd mendapat kesempatan untuk berkenalan denganku.
Pada masa itu aku adalah seorang remaja tanpa jenggot dan cambang di wajahku. Ketika aku memasuki rumahnya, filosof itu pun menyambutku dengan penuh kemesraan dan keramahan, dan dia terus memelukku. Kemudian dia berkata kepadaku, "Iya." Dan kelihatan sekali kegembiraan pada wajahnya karena aku paham apa yang dia maksudkan. Aku pula, yang tahu persis kenapa dia begitu gembira, menjawab "Tidak." Ketika itu, Ibn Rusyd tiba-tiba mundur. Warna wajahnya berubah dan dia kelihatannya meragukan tentang apa yang telah aku katakan. Kemudian dia melontarkan satu pertanyaan, "Solusi apa yang telah kamu ketemui dari hasil kasyaf dan ilhammu?" Apakah ia sejajar dengan hasil pemikiran spekulatif?" Aku jawab, "Iya dan tidak. Di antara iya dan tidak ini, tidak ada arwah akan terbang jauh di atas materi dan leher-leher akan terpisah dari tubuh-tubuhnya." Ibn Rusyd menjadi pucat, dan aku lihat dia menggeletar ketika dia membisik, "La hawla wa la quwwata illa billah" (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah). Ini adalah karena dia paham isyaratku.

Setelah itu, dia menanyakan kepada ayahku tentang diriku, supaya dapat membandingkan pendapatnya tentang aku dan ingin mengetahui apakah ia sama dengan pendapat ayahku, atau bertentangan dengan pendapatnya. Tidak ragu lagi Ibn Rusyd adalah seorang ahli pikir dan filsafat. Dia bersyukur kepada Tuhan karena dia telah bertemu dengan seorang yang telah memasuki khalwah, dalam keadaan jahil dan meninggalkannya sebagaimana yang aku lakukan. Dia berkata, "Ini adalah sesuatu yang aku sendiri telah membuktikan kemungkinannya tanpa pertemuan dengan orang yang telah mengalaminya. Subhanallah, aku hidup pada masa adanya ahli pengalaman ini, seorang yang bisa membuka kunci pintu-pintu-Nya. Subhanallah yang telah menganugerahkan aku pertemuan dengan salah seorang dari mereka dengan mataku sendiri.6
Pertemuan ini mempunyai banyak arti implisit tentang pribadi spiritual Ibn ‘Arabi. Umur beliau pada waktu baru sekitar lima belas tahun, tetapi pengalaman spiritualnya tidak bisa ditandingi filsafat Ibn Rusyd.

Dalam pertemuan keduanya pada tempat yang sama Ibn ‘Arabi menceritakan:
Aku ingin bertemu dengan Ibn Rusyd sekali lagi. Rahmat Ilahi membuat dia tampak kepadaku dalam keadaan ekstase hingga di antara dirinya dan diriku ada tirai yang tipis. Aku melihatnya lewat tirai itu tanpa dia melihatku atau menyadari bahwa aku berada di sana. Sebenarnya dia terlalu tenggelam dalam tafakkurnya sehingga tidak sadar terhadapku. Kemudian aku berkata kepada diriku: "Tafakkurnya tidak akan mengarahkannya pada tempat aku berada sekarang."
"Tirai tipis" ini adalah isyarat pada ketransendentalan (transcendentness) metafisika (baca: ‘irfân atau irfan) atas filsafat. Irfan bisa menembus tirai dan melihat filsafat, sementara filsafat masih buta terhadap irfan, namun ia hanya bisa menyerah secara filosofis di depan irfan.
Salah seorang perempuan sufi yang dihormati Ibn ‘Arabi adalah Fatimah binti Abi Mutsanna dari Asbella [Sevilla]. Ibn ‘Arabi menuturkan:

Aku bertemu dengannya dalam usia sembilan puluhan tahun. Dia hanya memohon makanan yang biasa didapatkan oleh orang-orang miskin. Sangat sedikit makanan yang dia makan. Aku tersipu ketika sempat melihat wajahnya yang anggun dengan kedua pipinya yang lembut kemerah-merahan padahal umurnya sudah sembilan puluhan. Dia terbiasa membaca Surah al-Fatihah. Dia berkata kepadaku, "Faidah al-Fatihah yang aku harapkan adalah untuk menyelesaikan segala urusan apa pun bentuknya."

Rumah yang ditempatinya terbuat dari pelepah kurma. Dia berkata, "Aku tidak suka sembarang orang datang kepadaku selain si fulan." Maksudnya aku.

Ketika ditanya apakah sebabnya begini, beliau menjawab, "Kalian semuanya datang dengan sebagian diri kalian, membiarkan sebagian lainnya sibuk dengan urusan lain, sementara Ibn ‘Arabi adalah satu penenang bagiku, karena dia datang dengan keseluruhan dirinya. Ketika dia berdiri, dia berdiri dengan keseluruhan dirinya, ketika dia duduk, dia duduk dengan keseluruhan dirinya, tidak membiarkan apa pun dari dirinya di tempat lain. Inilah yang harus dicapai dalam tarikat." (Ibnu Arabi, 2003: 162-3)

2.1.2. Ibn ‘Arabi: Titik Balik Tradisi Tasawuf

Tasawuf sebelum Ibn ‘Arabi banyak sekali terfokus pada bimbingan amali atau panduan praktis untuk para murid ataupun berbagai ungkapan sufi yang mengekspresikan al-ahwâl (keadaan-keadaan spiritual) atau al-maqam (pengalaman spiritual) yang telah mereka alami. Tetapi dengan keberadaan Ibn ‘Arabi, tiba-tiba kita berhadapan dengan doktrin ‘irfan, kosmologi, termasuk psikologi dan antropologi yang sangat monumental, hingga menjadi turning point dalam tradisi tasawuf. Ibn ‘Arabi telah mengekspresikan doktrin tasawuf dalam bentuk dan rumusan teoretis. Doktrin tasawuf—yang sebelumnya hanya secara implisit terkandung dalam kata-kata para syaikh sufi—di tangan Ibn ‘Arabi telah diformulasikan secara benderang. Ibn ‘Arabi telah menjadi pemapar par excellence tasawuf Islam. Kata Seyyed Hossein Nasr,
Through him the esoteric dimension of Islam expressed itself openly and brought to light the contours of its spiritual universe in such a manner that in its theoretical aspect, at least, it was open to anyone having sufficient intelligence to contemplate, so that he could in this way be guided toward the Path in which he could come to realize the metaphysical theories in an "operative" manner."
Nasr melanjutkan lagi,
The importance of Ibn Arabi consists, therefore, in his formulation of the doctrines of Sufism and in his making them explicit.

Tetapi kemunculan Ibn ‘Arabi sama sekali tidak menandakan satu "kemajuan" dalam tasawuf dengan menjadi lebih teoretis maupun terartikulasikan. Ia juga tidak menandakan kemunduran dari cinta Tuhan kepada satu bentuk panteisme. Malah dengan memformulasikan doktrin-doktrin tasawuf secara eksplisit oleh Ibn ‘Arabi, ia hanya menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu membutuhkan penjelasan dan klarifikasi yang lebih banyak agar bisa memahaminya. Poin yang ingin ditampakkan oleh Hossein Nasr adalah,…the need for explanation does not increase with one’s knowledge; rather, it becomes necessary to the extent that one is ignorant and has lost the immediate grasp of things through a dimming of the faculty of intuition and insight.

Dengan kata lain, mengeksplisitkan doktrin irfan, hanya menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah hilang akses pada fakultas intuisi dan batin. Maka itu mereka membutuhkan penjelasan yang teoretis yang sangat elaboratif.

Menurut Nasr, keberadaan doktrin irfan yang telah diformulasikan Ibn ‘Arabi bisa memelihara keterjagaan auntentisitas tradisi tasawuf di tengah manusia-manusia yang sering berada dalam bahaya penyimpangan lewat pikiran yang tidak benar dan juga karena mereka sudah kehilangan akses pada intuisi intelektual.

Melalui doktrin irfan Ibn ‘Arabi, tasawuf telah mendominasi kehidupan spiritual dan intelektual Islam sampai sekarang. Sekali lagi, yang ingin ditegaskan di sini, Ibn ‘Arabi telah menjadikan esoterisme sebagai poros dan pusat dimensi fundamental sekaligus esensial dalam Islam.

2.2. Karya-karya Ibn ‘Arabi

Ibn ‘Arabi tidak menulis seperti penulis biasa. Ia pernah berkata,
"Apa yang telah aku tulis, tidak pernah tertulis dengan satu tujuan sebagaimana penulis-penulis yang lain. Cahaya-cahaya dari inspirasi Ilahi sering terpancar kepadaku dan hampir menyelubungiku, hingga aku hanya bisa mengekspresikannya dari pikiranku dan mencatat di kertas apa yang telah ditampakkan untukku. Jika tulisanku tampak berupa sebuah komposisi, itu terjadi tanpa disengaja. Sebagian karyaku, telah kutulis karena perintah dari Tuhan, yang telah disampaikan kepadaku di dalam mimpi atau melalui kasyaf. Kalbuku berpaut di pintu Hadirat Ilahi, menunggu dengan penuh kesadaran apa yang akan datang ketika pintu itu terbuka. Kalbuku fakir dan membutuhkan, kosong dari segala ilmu. Ketika sesuatu mulai tampak kepada kalbu dari balik tirai, kalbu segera menaatinya dan mencatatnya dalam batasan yang sudah ditentukan."

Karya Ibn ‘Arabi yang terbesar dan ensiklopedis adalah Futuhat al-Makkiyyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga tercatat di dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Futuhat, tegas Ibn ‘Arabi, bukanlah satu karya individualis, tetapi,"Ketahuilah bahwa susunan bab-bab di dalam Futuhat bukanlah hasil dari pilihanku sendiri maupun dari pikiranku. Sebenarnya, Tuhanlah yang telah mendikte kepadaku semua yang telah kutulis lewat malaikat inspirasi."

Nasr menjelaskan tentang isi Futuhat, "The Futuhat contains, in addition to the doctrines of Sufism, much about the lives and sayings of the earlier Sufis, cosmological doctrines of Hermetic and Neoplatonic origin integrated into Sufi metaphysics, esoteric sciences like Jafr, alchemical and astrological symbolism, and practically everything else of an esoteric nature which in one way or another has a found a place in the Islamic scheme of things."

Fushush al-Hikam, menurut Ibn ‘Arabi adalah pemberian dari Nabi sendiri.

"Amma ba’du, aku telah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, dalam satu penglihatan batin ("mubasysyirah") yang telah diperlihatkan kepadaku di sepuluh hari terakhir di bulan Muharam pada tahun 627 di kota Damisyq. Dan di tangan beliau, ada sebuah kitab. Beliau berkata kepadaku: ‘Ini adalah kitab Fushush Al-Hikam. Ambillah ia dan sampaikanlah ia kepada manusia dan manfaatkannya.’ Dan aku berkata: ‘Aku dengar dan aku taat Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amr dari kalangan kami sebagaimana yang telah diperintahkan kepada kami.’"
Jelas dari kalimat Ibn ‘Arabi, kitab Fushush al-Hikam bukanlah karyanya sendiri. Tetapi secara esensial ia adalah kitab dari Sumber Ilahi. Ibn ‘Arabi sekadar menyatakan kitab tersebut dalam bentuk tulisan.

"Maka aku pun mengaktualisasikan pesan tadi, dan mengikhlaskan niat, serta memfokuskan keinginan dan aspirasi untuk menyatakan kitab tersebut sebagaimana yang telah ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa penambahan dan pengurangan."
Tentang nama kitab ini, Qaysari menafsirkan ketika Ibn ‘Arabi memberitahu, "Ini adalah kitab Fushush al-Hikam", ada kemungkinan di sini beliau ingin memberitahu bahwa nama kitab tersebut di sisi Allah adalah sebagaimana yang disebutkan, maka itu Nabi menamakan kitab itu sesuai dengan namanya di sisi Allah. Sudah tentu antara "nama" (al-ism) dan "yang dinamakan" (al-musamma) akan ada relasi. Dan namanya menandakan bahwa "yang dinamakan" adalah intisari (quintessence) hikmah-hikmah dan rahasia yang telah diturunkan kepada arwah para nabi yang disebut dalam kitab itu. Al-Fashsh juga berarti tempat terletaknya batu-cincin atau cap-cincin (seal). Karena kalbu insan kamil adalah tempat tertulisnya hikmah Ilahiah, maka itu kalbu diumpamakan sebagai al-fashsh. Dari itu kata Fushush al-Hikam berarti tempat terletaknya batu-cincin yang bernilai atau dengan kata lain, ia adalah kalbu-kalbu insan kamil yang terletak dan terkandung di dalamnya hikmah dan rahasia Ilahiah. Dan insan kamil di sini direpresentasi dengan para nabi, yang kalbu mereka adalah lokus termanifestasinya hikmah Ilahiah.

Metafora tentang tempat yang terletak di dalamnya batu-batu bernilai, mengisyaratkan kepada kemanusiaan seseorang nabi sekadarmana dia adalah penerima) hikmah Ilahiah, namun kata Titus Burckhardt: "This aspect of symbolism, which corresponds to the human appearance of things, is to be found compensated and as if enlarged by the formula that Ibn ‘Arabi adopts for the titles of the various parts of his book: ‘The setting of the Divine Wisdom in the Word of Adam’, ’The setting of the Wisdom of Divine Inspiration in the Word of Seth’, ‘The setting of the Wisdom of Transcendence in the Word of Noah’ etc. According to these expressions, the setting, that is to say the individual form of the prophet, is in its turn contained in the Word (al-kalimah), which is the essential and Divine Reality of this same prophet; in fact by its ‘active’ identification with the Divine Wisdom, each prophet is an immediate determination of the eternal Word, which is the primordial ‘enunciation’ of God."

Menurut kalimat Ibn ‘Arabi, hikmah Ilahiah ditempatkan di dalam al-fashsh atau kalbu nabi. Kemudian dengan kalimat Fashshu Hikmatin Ilahiyyatin fi kalimatin Adamiyyah, mengisyaratkan bahwa seluruh al-fass pula terletak di dalam al-kalimah. Ternyata ada dua ‘tempat’ di sini. Satunya al-fass dan yang satu lagi adalah al-kalimah. Menurut keterangan Titus Burckhardt al-fass adalah bentuk individual nabi (the individual form of the prophet) sementara al-kalimah adalah esensi dan realitas dari nabi yang sama (the essential and Divine reality of the same prophet). Malah dalam identifikasi aktif setiap nabi dengan Hikmah Ilahiah, atau dengan kata lain penyatuan aktif nabi dan Hikmah Ilahiah (secara ilmu hudhuri), setiap nabi adalah determinasi (al-ta’ayyun) Kalimat Ilahiah. Sementara Kalimat Ilahiah adalah zikir primordial Tuhan.

"It is the ‘words’ which contain the ‘settings’, for it is the individual who is contained by the universal and not inversely, in spite of human appearances. Every prophet, as Perfect Man, ‘contains’, then, himself, since he ‘contains’ the Divine Wisdom, and in relation to his interior and ‘supra-individual’ reality he ‘is’ this Wisdom; now, this latter contains the perfect humanity of the Man-God, and it is this aspect of things which corresponds to the ontological reality, without annulling, however, the ‘reality’ which is apparent from the human point of view."

Al-kalimah yang sebenarnya mengandungi al-fashsh, karena yang individual yaitu "al-juz’i" yang akan terkandung di dalam yang universal yaitu "al-kulli" dan tidak sebaliknya. Dengan kata lain, manusia dalam derajat individual yang terkandung di dalam manusia derajat universal. Ketika terjadi penyatuan antara manusia individual dengan Hikmah Ilahiah, manusia itu adalah determinasi Kalimat Tuhan. Maka itu setiap nabi sebagai Insan Kamil mengandungi dirinya sendiri yaitu diri individualnya karena ia mengandungi Hikmah Ilahiah. Dan berkaitan dengan diri universal dan esensialnya pula, dia adalah identik dengan Hikmah tersebut. Sekali lagi saya mau menegaskan, secara lahiriah kelihatannya manusia yang mengandungi Hikmah Ilahiah tetapi sebenarnya Hikmah Ilahiah yang mengandungi manusia.
Syaikh al-Akbar juga menulis berbagai aspek al-Quran, termasuk simbolisme huruf-huruf, mengenai asma’ dan sifat Ilahiah, mengenai syariat dan hadis dan hampir semua yang berkaitan dengan urusan religius dan spiritual. Beliau juga pernah menulis syair sufi seperti Tarjuman al-Asywaq (The Interpreter of Desires) dan juga Diwan.